Social Icons

Rabu, 08 Januari 2014

ANEKA METODOLOGI MEMAHAMI ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai beberapa kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melaui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Metodologi Ulumul Tafsir?
2.      Metodologi Ulumul Hadist?
3.      Metodologi Filsafat?
4.      Metodologi Tasawuf?

C.                Tujuan Penulis
1.      Menjelaskan metodologi ulumul tafsir
2.      Menjelaskan metodologi ulumul hadist
3.      Menjelaskan metodologi filsafat
4.      Menjelaskan metodologi tasawuf

BAB II
PEMBAHASAN

A.             Metodologi Ulumul Tafsir
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fasara, yafsiru, fasran yang berarti menerangkannya.[1] Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan.
Pengertian tafsir menurut pakar Alquran:
§   Al-jurjani mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas.
§   Imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia.
§   Abu Hayan, sebagaiman dikutip Al-Auyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Alquran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
§   Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (Alquran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Tiga ciri utama tafsir:[2]
1.         Dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Alquran) yang di dalamnya terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril.
2.         Dilihat dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan Alquran sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan, dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
3.         Dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian, dan ijtihad para mufassir yang didasrkan pada kesanggupan dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.

Macam-macam Metode Penafsiran Alquran
Menurut hasil penelitian Quraish Shihab, bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Alquran. Metode penafsiran Alquran tersebut secara garis besar data dibagi dua bagian yaitu corak ma’tsur (riwayat) dan corak penalaran. Kedua macam metode ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
1)                  Corak Ma’tsur (Riwayat)
Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi Saw., ditemukan bahwa pada dasarnya setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw., mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar ibn al-Khathab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya’khuzahum ‘ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah “pengurangan”. Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Alquran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan al-tabi’in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra’ (w. 207) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma’aniy Qur’an, dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasan menjadi landasan yag sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H.) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Metode Ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistimewaan antara lain: (a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran; (b) Memaparkan ketelitian radaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya; (c) Mengikat mufasir dalam binkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subyektivitas berlebihan. Sedangkan kelemahannya antara lain: (a) Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Alquran menjadi kabur dicelah uraian tersebut; (b) Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasih mansukh hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat terebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2)                  Metode Penalaran: Pendekatan dan Corak-coraknya
Banyak cara, pendekatan dan corak tafsir yang mengendalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita bermaksud menelusurinya satu per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode tafsir yang bercorak penaaran ini kepada empat macam metode, yaitu tablily, ijmaly muqarin dan maudlu’iy. Keempat macam metode penafsiran yang bertitik tolak pada penalaran ini dapat dikemukakan sebagai berikiut.
a)               Metode Tablily
Metode tablily atau dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
Kelebihan metode ini antara lain adanya potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat.

b)               Metode Ijmali
Metode Ijamali atau disebut juga dengan metode global adalah cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menunjukkan kandungan makna yang terdapat pada suatu ayat secara global.
c)               Metode Muqarin
Metode Muqarin adalah suatu metode tafsir Alquran yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat Alquran yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda.
Prosedur penafsiran dengan cara muqarin tersebut dilakukan sebagai berikut.
(1)      Menginventarisai ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi;
(2)      Meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
(3)      Mengadakan penafsiran.
d)              Metode Maudlu’iy
Metode maudlu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpn ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topic yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.

B.              Metodologi Ulumul Hadist
            Pada garis besarnya pengertian hadis dapat dilihat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologis).
            Dilihat dari pendekaan kebahasaan, hadist berasal dari bahsa Arab, yaitu kata hadatsa, yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian berlaku, terjadi baru, lawan lama.[3] Kata tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sasuatu yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya sesuatu yang kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan hadits al-bina dengan arti jadid al-bina artinya bangunan baru.
            Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib menunjukkan pada waktu yang dekat atau waktu singkat. Untuk itu kita dapat melihat pada contoh hadits al-‘ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru masuk Islam.
            Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
            Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut yang banyak digunakan adalah pengertian ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam arti al-khabar.
            Hadis dengan pengertian al-kahabar ini banyak dijumapai pemakainnya di dalam Alquran. Kita misalnya menjumpai ayat-ayat yang mengandung kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut ini.

 فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
Artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar (berita) yang serupa dengan Alquran itu jika mereka mengaku orang-orang yang benar” (QS al-thur, 52:34)
y7¯=yèn=sù ÓìÏ»t/ y7|¡øÿ¯R #n?tã öNÏd̍»rO#uä bÎ) óO©9 (#qãZÏB÷sム#x»ygÎ/ Ï]ƒÏyÛø9$# $¸ÿyr& ÇÏÈ
Artinya: Maka apakah barangkali kamu akan membinuh dirimu, karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sehingga mereka tidak beriman kepada berita ini. (QS Al-Kahfi, 18: 6)
            Dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Antara lain disebabkan karena perbedaan cara yang digunakan oleh masing-masing dalam melihat suatu masalah para ulama ahli hadis misalnya berpendapat bahwa hadis adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad Saw. sementara ulama ahli hadis lainnya seperti Al-Yhiby berpendapat bahwa hadis bukan hanya perkataan, perbuataan, dan ketetapan Rasulullah Saw., akan tetapi teermasuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
            Diantara pemikiran yang mendasari terjadinya perbedaan dalam mendefinisikan hadis di atas antara lain, karena perbedaan mereka dalam memandang pribadi Rasulullah Saw. jika ulama ahli hadis memandang Rasulullah Saw. sebagai yang patut diteladani dan dijadikan contoh yang baik (uswatun hasanah), apa saja yang berasal dari nabi dapat diterima sebagai hadis; sedang ulama ahli ushul memandangkan pribadi Rasulullah Saw. sebagai pengatur undang-undang kehidupan (dustur al-hayat)dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid yang akan hidup sesudahnya.

C.             Metodologi Filsafat
Dari segi bahasa, filsafat Islam terdiri dari gabungan kata filsafat dan Islam. Kata filasafat berasal dari kata philo berarti cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Secara bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Kata Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu, islaman yang berarti selamat, sentosa.[4] Kata tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad Saw.
Filsafat Islam pada dasrnya merupakan medan pemikiran yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap Filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik[5] pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman.
Selanjutnya dijumpai pula pengertian Filsafat Islam yang dikemukakan Amin Abdullah. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “Meskipun saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa Filsafat Islam tidak lain dan tidak bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang ditempeli begitu saja dengan konsep filsafat Yunani, namun sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat Islam era kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di wilayah Islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayan Islam dan kebudayaan Yunani lewat karya-karya filosof Muslim”.
Berbagai bidang yang menjadi garapan filsafat Islam telah diteliti oleh para ahli dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan secara seksama, dan hasilnya telah dapat kita jumpai saat ini. Beberapa hasil penelitian tentang filsafat Islam tersebut perlu kita kaji, selain sebagai bahan informasi untuk mengembangkan wawasan kita mengenal filsafat Islam, juga untuk mengetahui metode dan pendekatan yang digunakan para peneliti tersebut, sehingga pada gilirannya kita dapat mengembangkan pemikiran filsafat Islam dalam rangka menjawab berbagai masalah yang muncul di masyarakat.
D.             Metodologi Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistic) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasition misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu besih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).
Kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadan yang teruji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl al-suffaf misalnya menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah.
Selanjutnya kata saf juga menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya. Kata sufi yang berarti bersih, suci dan murni menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya; slanjunya kata suf yang berarti kain wol yang kasar menggambarkan orang yang hidupnya serba sederhana, tidak mengutamakan kepentingan dunia, tidak mau diperbudak oleh harta yang dapat menjerumuskan dirinya dan membawa ia lupa akan tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah.
Para ahli mendefinisikan tasawuf:
1.               Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas
2.               Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang
3.               Sudut pandang manusia seagai makhluk yang bertuan

Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan yang lainnya dihubungkan, segera tampak bawa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berkaitan kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Alllah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam mengingatkan kembali manusia siapa ia sebenarnya, yang berarti manusia dibangun dari mimpinya yang ia sebut kehiduannya sehari-hari dan bahwa jiwanya bebas dari pembatasan-pembatasan penjara khayali egonya itu yang memiliki timbangan objektif di dalam apa yang disebut kehidupan dunia menurut bahasa keagamaan.
Taswuf atau sufisme adalah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan dalam lubuk Islam dalam rangka menunujukkan munkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Alquran.


DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Yunus, Mahmud. 1972. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyyah.


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1972), hlm. 316.
[2] Abudin Nata, Metodologi Studi islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hlm. 210.
[3] Ibid., hlm. 98.
[4] Ibid., hlm. 177.
[5] Dialektik yaitu seni berfikir secara teratur, logis, dan teliti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates