Social Icons

Selasa, 31 Desember 2013

METODOLOGI STUDI ISLAM (MSI) TENTANG MODEL PENELITIAN KEAGAMAAN

BAB I PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Gejala keagamaan dapat diteliti dengan berbagai bentuk penelitian dan dapat dibedakan berdasarkan tujuan penelitian. Penelitian dipandang sebagai kegiatan Ilmiah karena menggunakan metode ke ilmuan.
2.      Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Model Penelitian Keagamaan ?
b.      Apa arti penelitian keagamaan
c.       Konstruksi teori keagamaan
3.      Tujuan Penulis
a.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah MSI
b.      Menjelaskan pengertian penelitian keagamaan
c.       Menjelaskan sumber penelitian keagamaan
  

BAB II PEMBAHASAN

1.      Model- model Penelitian Keagamaan
Berbagai gejala keagamaan dapat diteliti dengan berbagai bentuk penelitian. Bentuk-bentuk penelitian serta klasifikasi metode penelitian dapat dibedakan berdasarka tujuan penelitian. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, penelitian keagamaan dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Penelitian Historis (Historical Research)
Tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifisi, serta mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat
b.      Penelitian Korelasional
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau faktor lain berdasarkan koefisiensi korelasi.
Penelitian ini memiliki Ciri-ciri yaitu :
a.       Cocok dilakukan bila variabel-variabel yang diteliti rumit dan tak dapat diteliti dengan  metode eksperimental atau tak dapat dimanipulasikan.
b.      Studi macam ini memungkinkan pengukuran beberapa variabel dan saling hubungannya secara serentak dalam keadaan realistiknya.

c.       Penelitian Kausal – Komparatif
Tujuannya adalah untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara berdasar atas pengamatan terhadap akibat yang ada mencari kembali faktor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.

d.      Penelitian Eksperimental Sungguhan
Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimental dan memperbandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenal kondisi perlakuan
e.       Penelitian Tindakan
Yang bertujuan untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan baru atau cara pendekatan baru dan untuk memecahkan masalah dengan penerapan langsung di dunia kerja atau dunia aktual yang lain.
f.       Penelitian Survai
Dalam survei, informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner, umummnya pengertian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atau populasi untuk mewakili seluruh populasi.
Pengertian Survei ialah penelitian yang mengambil sampel dari populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat data pokok

A.    Penelitian Agama
Penelitian (research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuam manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melelui penemuan-penemuan baru.
Penelitian dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan, yakni gabungan antara pendekatan rasional dan pendekatan empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan pendekatan empiris merupakan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran. Dimana metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis
Menurut David H. Penny, penelitian adalah pemikiran yang sistematis mengenai berbagai jenis masalah yang pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran kata-kata. Di kalangan kaum akademisi dan aktivis sosial khususnya, agama saat ini tidak hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran (nilai), dogma atau sesuatu yang bersifat normatif lainnya, tetapi juga dilihat sebagai suatu case study, studi kasus yang menarik bagaimana agama dilihat sebagai obyek kajian untuk diteliti. Dalam perspektif budaya, Agama dilihat bagaimana yang ilahi itu menghistoris (menyejarah) di dalam praktek tafsir dan tindakan sosial. Sehingga dengan demikian agama bukannya sesuatu yang tak tersentuh (untouchable), namun sesuatu yang dapat diobservasi dan dianalisis karena perilaku keberagamaan itu dapat dilihat, dan dirasakan. Terlebih di dalam masyarakat yang agamis seperti Indonesia, yang menempatkan agama sebagai bagian dari identitas keindonesiaan tentu ada banyak problem keagamaan yang menarik untuk diungkap. Kita tidak akan pernah tahu rahasia Agama dan keberAgamaan masyarakat bila kita tidak mampu melakukan penelitian atau kajian, seperti mengapa seseorang itu menjadi sangat militan dengan ajaran agama dan madzhabnya, atau mengapa antar komunitas agama saling berkonflik.

B.     Penelitian Agama dan Keagamaan
“Penelitian Agama” adalah penelitian tentang hubungan timbal balik antara Agama dan Masyarakat, sedangkan “penelitian keagamaan” adalah Agama sebagai gejala sosial.
Adanya ilmu Ushul Fiqh sebagai metode untuk mengistinbatkan hukum dalam agama islam dan ilmu Mustalah Hadits sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan Sabda Nabi Muhammad SAW merupakan bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian, meskipun masih ada perdebatan dikalangan para ahli tentang setuju dan tidaknya terhadap materi kedua ilmu.
Dalam pandangan Juhaya S. Praja penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya
a.    sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis
b.   pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran agama yang terkandung dalam sumber ajaran agama
penelitian tentang hidup keagamaa (penelitian keagamaan) adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Penelitian keagamaan ini meliputi:
a.       Perilaku individu dan hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya.
b.      Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama.
c.       Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat beragama.

C.    Konstruksi Teori Keagamaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta Mengartikan konstruksi adalah cara membuat (menyusun) bangunan – bangunan (jembatan dan sebagainya); dan dapat pula berarti susunan dan hubungan kata di kalimat atau di kelompok kata. Sedangkan teori berarti pendapat yang dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian); dan berarti pula asas-asas dan hukum-hukum umum yang dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan.
Dari pengertian tersebut, kita dapat memperroleh suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Ksnstruksi teori adalah susunan atau bangunan dari suatu pendapat, asas-asas atau hukum – hukum mengenai sesuatu yang antara suatu dan lainnya saling berkaitan, sehuingga membentuk suatu banunan. Adapun penelitian berasal dari kata teliti yang artinya cermat, seksama, pemeriksaan yang dilakukan secara saksama dan teliti, dan dapat pula berarti penyelidikan, tujuan pokok dari kegiatan penelitian ini adalah mencari kebenaran-kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul.
Defenisi agama yang dikemukakan J.G.Frazer adalah suatu ketundukan atau penyerhan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercaya mengatur dan mengendalikan jalannya alam dan kehidupan manusia. Frazer mengatakan bahwa agama terdiri dari dua elemen yaitu bersifat teoritis (berupa kepercayaan kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia) dan yang bersifat praktis (usaha manusia untuk tunduk kepada kekuatan serta usaha mengembirakan).
Menurut Harun Nasution agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegan dan dipatuhi manusia.
Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari,berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia.

Dari definisi Harun Nasution menyebutkan adanya empat unsur yaitu:
1. Unsur kekuatan gaib yang dapat rnengambil bentuk dewa, atau Tuhan, dan sebagainya.
2. Unsur keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidupnya di akhirat nanti amat bergantung kepada adanya hubungan baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud.
3. Unsur respons yang bersifat emosional dari manusia yang dapat mengambil bentuk perasaan takut, cinta dan sebagainya.

4.  Unsur paham adanya yang kudus (Sacred) dan suci yang dapat mengambil bentuk kekuatan gaib, kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama yang bersangkutan, dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.

Sabtu, 14 Desember 2013

Risywah & Hukum Korupsi dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN.


A.    Latar Belakang.

             Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini. Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain, muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.
           Tak hanya korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan sebutan-sebutan anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang persahabatan. Di Indonesia, korupsi dan suap agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seluruh negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia.
             Oleh karena itu penulis tertarik membahas tentang korupsi dan variansinya dalam kehidupan masa kini. Untuk menambah wawasan kita mengenai korusi, suap, dan pemberian hadiah serta bagaimana pandangan islam dalam mengkaji hal tersebut.

B.    Batasan Masalah.

Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai :
1.          Pengertian Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan Pemberian Hadiah pada Pejabat
2.          Pandangan Islam mengenai Risywah (Suap) dan  Ghulul (Korupsi).
3.          Pandangan Islam mengenai Pemberian Hadiah pada Pejabat.


BAB II
PEMBAHASAN

1.     Definisi risywah
 Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan mu’jam wasith).
Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).

2. Unsur-unsur risywah
berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Adanya athiyyah (pemberian)
b. Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Bertujuan:
1.      Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
2.      Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
3.      al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
4.      al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
5.      al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)
3. Beberapa istilah yang serupa dengan risywah
Bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antaranya:
a. Hadiah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang ala sabilil ikram (sebagai penghargaan).
Perbedaannya dengan risywah adalah: hadiah diberikan ala sabilil ikram, sedangkan risywah diberikan untuk mendapatkan yang diinginkannya.
b. Hibah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah al wahib (pemberi) memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu sedangkan ar-rasyi (penyuap) memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.
c. Shadaqah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT seperti zakat ataupun infaq sunnah. Perbedaannya dengan risywah adalah orang yang bersedekah memberikan sesuatu karena mengharapkan pahala dan ridha dari Allah semata, sedangkan ar-rasyi dalam pemberiannya mengharapkan kepentingan duniawi.
Dan bila dilihat dari sisi kedua yaitu menerima atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka tindakan lain yang serupa dengan risywah, adalah korupsi. Korupsi adalah penyelewengan dan penggelapan harta negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam istilah Islam, korupsi agak sulit dicari persamaannya. Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan mengambil harta tanpa hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah, ghulul dll. Semuanya mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu bermuara pada pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Dan biasanya Untuk memuluskan tindakan korupsi disertai dengan risywah. Oleh karena itu banyak orang yang mengidentikkan korupsi dengan risywah.
Bahkan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1 terdapat kemiripan antara korupsi dan suap, dimana korupsi didefinisikan dengan:
« memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dimana pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya »

4. Hukum risywah
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
a. Firman Allah ta’ala:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
b. Firman Allah ta’ala:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
c. Rasulullah SAW bersabda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ

“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
d. Nabi Muhammad SAW bersabda:

«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»

“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”“Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.

5. ‘Risywah’ yang diperbolehkan
Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).

6. Pembagian Risywah
Imam Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian:
a. Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi penyuap maupun bagi penerima.
b. Memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
c. Memberikan sesuatu agar mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu, tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.
d. Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau di instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi. Firman Allah SWT yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
(sumber: mausu’ah fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)

7. Risywah masa kini
Saat ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya, seperti dana APBD, dll.


8. Hukum pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi
a. Penguasa
Ibnu Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi Muhammad SAW memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan: pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita.
Hadits Rasulullah SAW, “Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
b. Pejabat pemerintah
hadiah yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا

Dari Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda Nabi SAW :
“ هدايا الأمراء غلول ”
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul, secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para penguasa dan pejabat.
c. Hakim
Pemberian yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama, karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun digunakan sebagai investasi).
d. Mufti
Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
e. Guru/Dosen
Jika pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak diambilnya.
f. Saksi
Haram bagi seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni 9/40 dan 160).

9. Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.
Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan disertai risywah, maka para ulama berbeda pendapat apakah putusan itu sah dan harus dilaksanakan atau putusan itu batal demi hukum:
a. Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah batal dan tidak boleh dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. (al Bahrurraiq 6/284, al Mughni 9/40)
b. Al Khashaf dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika bertepatan dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar yang telah ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)
10. Sanksi bagi pelaku risywah
Risywah adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.
Dan dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan macamnya diserahkan kepada hakim.

11. Cara pengembalian uang hasil risywah
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.
Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’ dsb.
Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Kahulany, Muhammad Ibn Ismail. Subul As-Salam. Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Abdul Halim. S, Abu. Suap:Dampak dan Bahayanya bagi Masyarakat. Pustaka al-Kautsar, 1996
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Jakarta: Gema Insani Press, 1988.
Quraish, M. Shihab. Tafsir Al-Mishbah volume 10, : Lentera Hati,
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Jilid 19, Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993.
Perspektif Hukum Islam Mengenai Korupsi 
http://majelissabar.blogspot.com/2010/10/perspektif-hukum-islam-mengenai-korupsi.html

Surahman Hidayat, Risywah (http://www.syariahonline.com/v2/bayan/1849-penjelasan-tentang-risywah.html

Rabu, 11 Desember 2013

Memahami Fungsi dan Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN
1.1            LATAR BELAKANG
Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah membimbing manusia dengan hidayah-Nya, sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Kami bersyukur kepada-Nya yang telah memudahkan penulisan dan penyajian makalah Ushul Fiqih yang sederhana ini hingga dapat terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa dihaturkan kepada junjungan baginda Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluaraga dan para pengikutnya sampai di hari kiamat nanti.
Ushul Fiqih Sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil hukum syara’ secara detail dari al-Qur’an maupun al-Hadis yang sebagian dijelaskan melalui ijma’ dan Qiyas. Dengan Ushul Fiqih ini diharapkan mampu membantu para mujtahid dan pemimpin-pemimpin umat untuk memaknai al-Qur’an dan al-Hadis secara aktual dan kontekstual. Hal ini seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman yang menuntut ketegasan dan kejelasan acuan setiap prilaku, sehingga ajaran Islam selalu mampu menjawab segala persoalan dan permasalahan umat di segala aspek kehidupan.
Kami akan mencoba menjelaskan Ushul Fiqih dari segi definisi Ushul Fiqih, objek kajian, tujuan mempelajari dan fungsi ushul fiqih serta perbedaan antara Ushul Fiqih dan Fiqih. Mudah-mudahan penjelasan dalam makalah kami ini, akan menambah wawasan keagamaan kita dalam mempelajari Ushul Fiqih, kritik dan saran serta nasehat dari dosen pembimbing serta teman-teman semua selalu kami harapkan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, dapat di ambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.Apa yang dimaksud dengan ushul fiqh?
2. Apa objek ushul fiqh itu?
3. Apa tujuan mempelajari ushul fiqh?



1.3.         TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah di atas, dapat di ambil tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi ushul fiqh
2. Untuk mengetahui objek dari ushul fiqh
3. Untuk mengetahui tujuan mempelajari ushul fiqh


BAB II

1.      MEMPELAJARI FIQIH DAN USHUL FIQIH
Mempelajari Ilmu Fiqih besar sekali faedahnya bagi manusia. Dengan mengetahui ilmu fiqih menurut yang dita’rifkan ahli ushul, akan dapat diketahui mana yang disuruh mengerjakan dan mana pula yang dilarang mengerjakannya. Dan mana yang haram, mana yang halal, mana yang sah, mana yang bathal dan mana pula yang fasid, yang harus diperhatikan dalam hal segala perbuatan yang disuruh harus di kerjakan dan yang dilarang harus ditinggalkan.
Ilmu Fiqih yang juga memberi petunjuk kepada manusia tentang pelaksanaan nikah, thalaq, rujuk, dan memelihara jiwa, harta benda serta kehormatan. Juga mengetahui segala hukum – hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Yang dibahas oleh Fiqih adalah perbuatan orang – orang mukallaf, tentunya orang – orang yang telah dibebani ketetapan – ketetapan hukum agama Islam, berarti sesuai dengan tujuannya.
“ Yang di bicarakan oleh Fiqih ( menurut ta’rif ahli ushul ) atau yang dijadikan maudhu’nya ialah segala pekerjaan para mukallaf dari jurusan hukum.
Adapun hasil pembicaraan atau mahmulnya ialah salah satu dari hukum lima, seperti “ perbuatan ini wajib “.
Yang dimaksud dengan salah satu dari hukum lima, ialah dari hukum taklifi yang lima :
1. Iijab ( wajib )
2. Nadab ( anjuran )
3. Tahrim ( haram )
4. Karahah ( menuntut meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
5. Ibahah ( mubah = membolehkan ) dikerjakan atau ditingglkan.
2.  Hukum mempelajari Fiqih
Hukum mempelajari Fiqih itu terbagi kepada dua bagian :
1. Ada ilmu Fiqih itu yang wajib dipelajari oleh seluruh umat Islam yang mukallaf, seperti mempelajari masalah shalat, puasa dan lain – lainnya.
2. Ada ilmu Fiqih yang wajib dipelajari oleh sebagian orang yang ada dalam kelompok mereka ( umat Islam ), seperti mengetahui masalah pasakh, ruju’, syarat – syarat menjadi qadhi atau wali hakim dan lain – lainnya.
Hukum mempelajari Fiqih itu ialah untuk keselamatan di dunia dan akhirat.1)
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu fiqih ialah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya. Karena itu dalam ilmu Fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan – perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan “ ibadah “ dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya.
Pembahasan ushul Fiqih
Untuk mengetahui pembahasan dan pembicaraan dalam ushul Fiqih, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti ushul Fiqih , harus kita ketahui arti “ Asal “ dan arti “Furu “.
Asal artinya sumber, dasar, menurut istilah agama asal adalah sesuatu yang menjadi dasar ( sendi ) oleh suatu yang lain, sedangkan furu’ sesuatu yang di letakkan di atas asal tadi, seperti sebuah rumah yang diletakkan di atas sendi, maka sendi disebut asal, sedangkan rumah yang terletak diatasnya disebut Furu’.
Asal menurut istilah terbagi kepada 5 pengertian : kaidah kulliyah, rajih, mustahhab,Maqis alaih dan dalil.
a) kaidah kulliyah ( peraturan umum ), melaksanakan semua peraturan – peraturan yang ditetapkan oleh syara’, kecuali bagi orang yang dalam keadaan terpaksa, seperti boleh memakan bangkai bagi orang – orang yang terpaksa, sedangkan memakan bangkai menurut syara’ hukumnya haram. Firman Allah :
إِنَّمَاحَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
Artinya : “ Sesungguhnya diharamkan atas kamu memakan bangkai “.
( QS. Al Qur'an : 173 )
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Artinya : “ Diharamkan atasmu memakan bangkai darah, dan daging babi”.

b). rajih ( terkuat ), asal pada perkataan seseorang benar menurut orang yang mendengar.
c). mushtashhab : menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada, seperti yakin berwudhu ragu dalam berhadas, tetapi seorang itu dalam keadaan suci
d) maqis’ alain ( tempat mengqiyaskan ) seperti haram riba pada gandum ( gandum = asal dan padi = furu ).
e). dalil ( alasan ) asal hukum sesuatu karena dalilnya seperti wajib zakat karena firman Allah
Jadi yang dikatakan dan dibicarakan dalam ushul fiqih adalah sebagai berikut :
“ Ilmu ushul Fiqih menyelidiki keadaan dalil – dalil syara’ dan menyelidiki bagaimana caranya dalil – dalil tersebut menunjukkan hukum – hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan oleh ushul Fiqih ialah dalil – dalil syara’ dari segi penunjukannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf”.2)
Ahli ushul Fiqih berbicara tentang Al Qur'an dan Hadits Qur’an dan sunnah dari segi lafalnya, baik dalam bentuk amar, nahyi,’aam, khas mutlaq, mahfum, maslahatul mursalah, syariat yang di tetapkan bagi umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf. Demikianlah para ahli ushul, membahas lafal amar dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib lafal nahyi dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan haram lafal umum ( ‘ aam ) yang pengertiannya meliputi semua yang dapat dimasukkan ke dalam pengertian itu, lafal mutlaq dilaksanakan menurut arti aslinya demikian juga lafal muqayyad. Maka untuk semua itu mereka tuangkan ke dalam kaidah tertentu yang dinamakan kaidah hukum umum ( hukum kulli ) yang diambil dari sumber atau dalil dasar menetapkan hukum pada kasus tertantu. Umpamanya dari kaidah”amar lil wujub “ diterapkan dalam perjanjian bersumber dari ayat yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya :
“ Hai orang – orang yang beriman, penuhilah aqad – aqad itu ….” ( QS. Al - Maidah : 1 ).


Berdasarkan kaidah amar lil wujub memenuhi janji hukumnya wajib.
Dalam ayat yang berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ
Artinya :
“ Hai orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok – olokan kaum yang lain “.( QS. Al - Hujurat : 11 )
Berdasarkan kaidah umum “ nahyi littahrim “ maka ditetapkan merasa berbangga dan mengolok – olok golongan lain itu hukumnya haram.
Dalam firman Allah yang berbunyi :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Artinya :
“Diharamkan bagi kamu ( mengawini ) ibu – ibu”(QS. An- Nissa : 23 ).

Berdasarkan keumuman ayat ini diharamkan mengawini ibu baik ibu kandung maupun ibu susuan.
Dari uraian di atas jelaslah perbedaan antara dalil – dalil kulli dan dalil juz’i hukum kulli dan hukum juz’i dan qiyas. Amar dikatakan hukum kulli karena di dalamnya semua yang menunjukkan larangan. Amar dinamakan dalil kulli dan nash mengandung lafal amar dinamakan dalil juz’i. Demikian juga nahyi dalil kulli dan nash yang mengandung lafal nahyi dinamakan dalil juz’i.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk ke dalamnya beberapa macam seperti wajib, haram, sah, batal dan sebagainya. Wajib dinamakan hukum kulli karena di dalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib umpamanya wajib menunaikan janji, wajib mengadakan sanki dalam perkawinan. Haram adalah hukum kulli yang masuk ke dalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan seperti haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina, haram mencuri, haram membunuh dan sebagainya dan haram atau wajib yang berlaku pada perbuatan tertentu dinamakan hukum juz’i.
Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i dan tidak pula membahas hukum juz’i, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang mereka letakkan dalam kaidah umum yang nantinya oleh para fuqaha diterapkan pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i.
3.  TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM FIQIH DAN USHUL FIQIH
Yang menjadi dasar dan pendorong bagi ummat Islam untuk mempelajari Fiqih ialah :
1. untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam.
2. untuk mempelajari hukum – hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
3. kaum muslimin harus bertafaqquh Artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum – hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadat dan muamalat.
Bertafaqquh fiddin Artinya memperdalam ilmu pengetahuan dalam bidang hukum – hukum agama. Oleh karena demikian sebagian kaum muslimin harus pergi menuntut ilmu pengetahuan agama Islam guna disampaikan pula kepada saudara – saudaranya.
Pendapat itu sesuai dengan perintah Allah di dalam Al Qur'an dan Hadits-Qur’an, antara lain
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya : Mengapa tidak pergi dari tiap – tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga darinya.(QS. At-Taubah : 122)
Oleh karena demikian jelas behwa Tuhan memerintahkan kepada sebagian manusia supaya pergi dari daerahnya untuk menuntut ilmu pengetahuan agama di daerah lain, dan ditugaskan bila dia sudah kembali memberikan peringatan dan ajaran agama Islam kepada kaumnya guna mengertahui dan menjaga batas-batas perintah Tuhan dan larannya-Nya terhadap manusia. Karena itu seharusnyalah sebagian besar umat Islam mempelajari agama Islam secara mendalam. Tuhan akan memberikan rahmat dan keluasan paham di bidang syari’at Islam kepada orang-orang yang dicintanya.
Sehubungan dengan itu Nabi Muhammad saw, telah bersabda :
مَنْ يُرِاللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ
Artinya :
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah akan diberikan-Nya kabajikan dan keutamaan, niscaya diberikanlan kepadanya keluasan paham dalam agama.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Pendorong yang lain untuk mempelajari fiqih umat Islam berdasarkan pendapat berbentuk sya’ir yang dikemukakan oleh seorang faqih terkenal di antara mujtahidin, yaitu Muhammad Ibnu Hasan, yang berbunyi :

تََفَقَّهُ فَاِنَّ الْفِقْهَ أَفْضَلُ قَائِدًا
اِلَى البِرِّ وَالتَّْقوَى وَأَعْدَلُ قَاِصِ
Artinya :
“Bertafaqquhlah kamu, sesugguhnya fiqih itu penuntun utama kepada kebaikan dan taqwa dan seutama-utamanya jalan yang menyampaikan kita kepada yang kita maksud”.
وَكُنْ مُشْتَفِيْدًا كُلََّ يَوْمِ زِيَادَةً #
مِنَ الفِقْهِ وَاشْبَحْ فِى بُحُوْرِ اْلفَوَائِدِ
Artinya : “Hendaklah kamu tiap-tiap hari menuntut kelabihan dari pelajaran fiqih dan bercimpunglah kamu dalam lautan fiqih yang berfaedah.”
Fiqih dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada kebaikan dan bertaqwa kepada Allah. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari ketuamaan fiqih, karena fiqih, menunjukkan kita kepada sunnah Rasul serta memlihara manusia dari bahaya-bahaya dalam kehidupan. Seorang yang mengatahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemasan dan lebih takut dan disegani oleh musuhnya.
Jelasnya tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah merapkan hukum syara’ pada setiap perkataaan dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih itulah yang dipergunkan untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa, dan bagi setiap mukallaf akan mengetahui hukum syara’ pada setiap perbuatan atau perkataaan yang mereka lakukan.
Sedangkan tujuan mempelajari Uhul Fiqh adalah untuk mengatahui hukum-hukum syara’ pada setiap perbuatan atau perkataaan yang mereka lakukan. Sedangkan tujuan mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengatahui hukum-hukum syari’at Islam dengan jalan yakin (pasti) atau dengan jalan zhan (dugaan, perkiraan), dan untuk menghindari taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya) hal ini dapat berlaku, kalau memang benar-benar ushul fiqih ini digunakan menurut mestinya, yaitu mengambil hukum soal-soal cabang kepada soal-soal yang pokok atau dengan mengembalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokok. Yang pertama adalah pekerjaan ahli ijtihad (mujahid) dan yang kedua adalah pekerjaan muttabi.
Dengan adanya faedah tersebut, tertolaklah faham sementara orang yang mengatakan, bahwa usul fiqih, adalah pekerjaan orang-orang yang terdahulu saja dalam mencari ketentuan sesuatu hukum, dan bagi kita sekarang hanya mengikuti apa yan telah didapati mereka. Pendapat ini tidak benar, sebab taklid adalah pekerjaan yang harus kita hindari.
Setidak-tidaknya kita harus bisa mencapai derajat ittaba’, yaitu mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui alasan-alasannya.


BAB III
PENUTUP

3.1       KESIMPULAN
Kini kita telah mengetahui ushul fiqih adalah dalil-dalil syar’i dan objek ushul fiqh adalah pembahasan sebagai penguat dalil hukum, bebas memilih antara tuntutan dengan kewajiban dalam hukum wad’i( syarat,sebab,halangan), berijtihad dan sebagainya, dan tujuan mempelajari ushul fiqih adalah untuk mengetahui dalil-dalil syara’, untuk mengetahui dalil yang benar, menjaga kesatuan agama islam.
3.2       SARAN
       Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan rekan-rekanita dalam memahami Fiqh, masih banyak terdapat kesalahan ataupun kekeliruan dalam pembuatan makalah ini, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah yang akan datang.




                                                 DAFTAR  PUSTAKA

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi Prof. Dr. 1987. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al Qur-An/Tafsir. Jakarta: PT Bulan Bintang
Haroen, H. Nasrun Haroen. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.
Munir Amin, Samsul dan Jumantoro Totok. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah.
M.Zaeni, Effendi, H.Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada Media.
Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. jakarta : Logos Wacana Ilmu.



 
Blogger Templates