BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di
dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu
hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai beberapa kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan hadis, tampak amat ideal dan
agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal
pikiran melaui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang
dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan
kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi
pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Metodologi Ulumul
Tafsir?
2. Metodologi Ulumul
Hadist?
3. Metodologi
Filsafat?
4. Metodologi
Tasawuf?
C. Tujuan Penulis
1. Menjelaskan
metodologi ulumul tafsir
2. Menjelaskan
metodologi ulumul hadist
3. Menjelaskan
metodologi filsafat
4. Menjelaskan
metodologi tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Metodologi Ulumul
Tafsir
Tafsir berasal dari bahasa Arab, fasara,
yafsiru, fasran yang berarti menerangkannya.[1] Selain
itu tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu
penjelasan dan keterangan.
Pengertian tafsir
menurut pakar Alquran:
§ Al-jurjani mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat
Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya,
dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna
yang dikehendaki secara terang dan jelas.
§ Imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan
Alquran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah,
menurut kadar kesanggupan manusia.
§ Abu Hayan, sebagaiman dikutip Al-Auyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah
ilmu yang di dalamnya pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Alquran
disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
§ Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk
mengetahui kandungan kitabullah (Alquran) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum
serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya adalah kitabullah (Alquran)
yang di dalamnya terkandung firman Allah Swt. yang diturunkan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat Jibril.
2. Dilihat dari segi tujuannya adalah untuk menjelaskan, menerangkan,
menyingkap kandungan Alquran sehingga dapat dijumpai hikmah, hukum, ketetapan,
dan ajaran yang terkandung di dalamnya.
3. Dilihat dari segi sifat dan kedudukannya adalah hasil penalaran, kajian,
dan ijtihad para mufassir yang didasrkan pada kesanggupan dan
kemampuan yang dimilikinya, sehingga suatu saat dapat ditinjau kembali.
Macam-macam Metode Penafsiran Alquran
Menurut hasil penelitian Quraish Shihab,
bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan
diterapkan oleh pakar-pakar Alquran. Metode penafsiran Alquran tersebut secara
garis besar data dibagi dua bagian yaitu corak ma’tsur (riwayat)
dan corak penalaran. Kedua macam metode ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Corak Ma’tsur
(Riwayat)
Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi Saw., ditemukan
bahwa pada dasarnya setelah gagal menemukan penjelasan Nabi Saw., mereka
merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya Umar
ibn al-Khathab pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam
firman Allah: Auw ya’khuzahum ‘ala takhawwuf (QS 16:47).
Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan artinya adalah “pengurangan”. Arti
ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar
ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam
rangka memahami Alquran.
Setelah masa sahabat pun, para tabi’in dan al-tabi’in,
masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasan seperti sebelumnya.
Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra’ (w. 207) merupakan orang pertama yang
mendiktekan tafsirnya Ma’aniy Qur’an, dari tafsirnya kita dapat
melihat bahwa faktor kebahasan menjadi landasan yag sangat kokoh. Demikian pula
Al-Thabari (w. 310 H.) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Metode Ma’tsur (riwayat) tersebut memiliki keistimewaan
antara lain: (a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Alquran; (b)
Memaparkan ketelitian radaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya; (c)
Mengikat mufasir dalam binkai teks ayat-ayat sehingga
membatasi terjerumus dalam subyektivitas berlebihan. Sedangkan kelemahannya
antara lain: (a) Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian
kebahasan dan kesusastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Alquran
menjadi kabur dicelah uraian tersebut; (b) Seringkali konteks turunnya ayat
(uraian asbabul-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat
hukum yang dipahami dari uraian nasih mansukh hampir dapat
dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat terebut bagaikan turun
bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
2) Metode Penalaran:
Pendekatan dan Corak-coraknya
Banyak cara, pendekatan dan corak tafsir yang
mengendalkan nalar, sehingga akan sangat luas pembahasannya apabila kita
bermaksud menelusurinya satu per satu. Untuk itu, agaknya akan lebih mudah dan
efisien, bila bertitik tolak dari pandangan Al-Farmawi yang membagi metode
tafsir yang bercorak penaaran ini kepada empat macam metode, yaitu tablily,
ijmaly muqarin dan maudlu’iy. Keempat macam metode penafsiran yang bertitik
tolak pada penalaran ini dapat dikemukakan sebagai berikiut.
a) Metode Tablily
Metode tablily atau
dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah
satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat
Alquran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran
sebagaimana tercantum di dalam mushaf.
Kelebihan metode ini antara lain adanya
potensi untuk memperkaya arti kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap
kosakata ayat, syair-syair kuno dan kaidah-kaidah ilmu nahwu. Penafsirannya menyangkut segala aspek yang dapat
ditemukan oleh mufassir dalam setiap ayat.
b) Metode Ijmali
Metode Ijamali atau disebut juga dengan metode global
adalah cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menunjukkan kandungan makna
yang terdapat pada suatu ayat secara global.
c) Metode Muqarin
Metode Muqarin adalah suatu metode tafsir Alquran yang dilakukan dengan
cara membandingkan ayat Alquran yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat
yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda.
Prosedur penafsiran dengan cara muqarin tersebut
dilakukan sebagai berikut.
(1) Menginventarisai
ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi;
(2) Meneliti kasus
yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut;
(3) Mengadakan penafsiran.
d) Metode Maudlu’iy
Metode maudlu’iy dimana mufasirnya berupaya menghimpn
ayat-ayat Alquran dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau
topic yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir
membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
B. Metodologi Ulumul
Hadist
Pada garis besarnya pengertian hadis dapat dilihat melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan kebahasaan (linguistik) dan pendekatan istilah (terminologis).
Dilihat dari pendekaan kebahasaan, hadist berasal dari bahsa Arab, yaitu kata hadatsa,
yahdutsu, hadtsan, haditsan dengan pengertian berlaku, terjadi baru,
lawan lama.[3] Kata
tersebut misalnya dapat berarti al-jadid min al-asy ya’ sasuatu
yang baru, sebagai lawan dari kata al-qadim yang artinya
sesuatu yang kuno atau klasik. Penggunaan kata al-hadits dalam
arti demikian dapat kita jumpai pada ungkapan hadits al-bina dengan
arti jadid al-bina artinya bangunan baru.
Selanjutnya, kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib menunjukkan
pada waktu yang dekat atau waktu singkat. Untuk itu kita dapat melihat pada
contoh hadits al-‘ahd bi al-Islam yang berarti orang yang baru
masuk Islam.
Kata al-hadis kemudian dapat pula berarti al-khabar yang berarti ma
yutahaddats bih wa yunqal, yaitu sesuatu yang diperbincangkan,
dibicarakan atau diberitakan, dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Dari ketiga arti kata al-hadits tersebut yang banyak digunakan
adalah pengertian ketiga, yaitu sesuatu yang diperbincangkan atau al-hadits dalam
arti al-khabar.
Hadis dengan pengertian al-kahabar ini banyak dijumapai
pemakainnya di dalam Alquran. Kita misalnya menjumpai ayat-ayat yang mengandung
kata al-hadits dalam arti al-khabar berikut
ini.
فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ
كَانُوا صَادِقِينَ
Artinya: Maka hendaklah mereka mendatangkan khabar
(berita) yang serupa dengan Alquran itu jika mereka mengaku orang-orang yang
benar” (QS al-thur, 52:34)
y7¯=yèn=sù ÓìÏ»t/ y7|¡øÿ¯R #n?tã öNÏdÌ»rO#uä bÎ) óO©9 (#qãZÏB÷sã #x»ygÎ/ Ï]ÏyÛø9$# $¸ÿyr& ÇÏÈ
Artinya: Maka apakah barangkali kamu akan membinuh
dirimu, karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sehingga mereka tidak
beriman kepada berita ini. (QS Al-Kahfi, 18: 6)
Dari segi pengertian istilah dijumpai pendapat yang berbeda-beda. Antara lain
disebabkan karena perbedaan cara yang digunakan oleh masing-masing dalam
melihat suatu masalah para ulama ahli hadis misalnya berpendapat bahwa hadis
adalah ucapan, perbuatan dan keadaan Nabi Muhammad Saw. sementara ulama ahli
hadis lainnya seperti Al-Yhiby berpendapat bahwa hadis bukan hanya perkataan,
perbuataan, dan ketetapan Rasulullah Saw., akan tetapi teermasuk perkataan,
perbuatan, dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Diantara pemikiran yang mendasari terjadinya perbedaan dalam mendefinisikan
hadis di atas antara lain, karena perbedaan mereka dalam memandang pribadi
Rasulullah Saw. jika ulama ahli hadis memandang Rasulullah Saw. sebagai yang
patut diteladani dan dijadikan contoh yang baik (uswatun hasanah),
apa saja yang berasal dari nabi dapat diterima sebagai hadis; sedang ulama ahli ushul memandangkan
pribadi Rasulullah Saw. sebagai pengatur undang-undang kehidupan (dustur
al-hayat)dan menciptakan dasar-dasar bagi para mujtahid yang
akan hidup sesudahnya.
C. Metodologi
Filsafat
Dari segi bahasa, filsafat Islam terdiri dari gabungan
kata filsafat dan Islam. Kata filasafat berasal dari kata philo berarti
cinta, dan kata sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Secara
bahasa filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah. Al-Syaibani
berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta
terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan
menciptakan sikap positif terhadapnya. Untuk ini ia mengatakan bahwa filsafat
berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan
berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Kata Islam berasal dari bahasa Arab aslama,
yuslimu, islaman yang berarti selamat, sentosa.[4] Kata
tersebut berasal dari salima yang berarti selamat, sentosa,
aman, dan damai. Selanjutnya Islam menjadi suatu istilah atau nama bagi agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi
Muhammad Saw.
Filsafat Islam pada dasrnya merupakan medan pemikiran
yang terus berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan
historis terhadap Filsafat Islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh,
tetapi yang lebih penting lagi adalah memahami proses dialektik[5] pemikiran
yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas persoalan-persoalan yang
terjadi pada setiap zaman.
Selanjutnya dijumpai pula pengertian Filsafat Islam
yang dikemukakan Amin Abdullah. Dalam hubungan ini ia mengatakan: “Meskipun
saya tidak setuju untuk mengatakan bahwa Filsafat Islam tidak lain dan tidak
bukan adalah rumusan pemikiran Muslim yang ditempeli begitu saja dengan konsep
filsafat Yunani, namun sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan
gerakan pemikiran filsafat Islam era kerajaan Abbasiyah dan dunia luar di
wilayah Islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi dan akulturasi
kebudayan Islam dan kebudayaan Yunani lewat karya-karya filosof Muslim”.
Berbagai bidang yang menjadi garapan filsafat Islam
telah diteliti oleh para ahli dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan
secara seksama, dan hasilnya telah dapat kita jumpai saat ini. Beberapa hasil
penelitian tentang filsafat Islam tersebut perlu kita kaji, selain sebagai
bahan informasi untuk mengembangkan wawasan kita mengenal filsafat Islam, juga
untuk mengetahui metode dan pendekatan yang digunakan para peneliti tersebut,
sehingga pada gilirannya kita dapat mengembangkan pemikiran filsafat Islam
dalam rangka menjawab berbagai masalah yang muncul di masyarakat.
D. Metodologi Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistic) terdapat sejumlah
kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasition
misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah
(ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah
ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan
shalat berjama’ah, sufi yaitu besih dan suci, sophos (bahasa
Yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).
Kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat
dan keadan yang teruji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl
al-suffaf misalnya menggambarkan keadaan orang yang mencurahkan jiwa
raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah.
Selanjutnya kata saf juga
menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah
kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya. Kata sufi yang
berarti bersih, suci dan murni menggambarkan orang yang selalu memelihara
dirinya dari perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya; slanjunya
kata suf yang berarti kain wol yang kasar menggambarkan orang
yang hidupnya serba sederhana, tidak mengutamakan kepentingan dunia, tidak mau
diperbudak oleh harta yang dapat menjerumuskan dirinya dan membawa ia lupa akan
tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah.
Para ahli mendefinisikan tasawuf:
1. Sudut pandang
manusia sebagai makhluk terbatas
2. Sudut pandang
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang
3. Sudut pandang
manusia seagai makhluk yang bertuan
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan yang lainnya dihubungkan,
segera tampak bawa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
berkaitan kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan
duniawi, selalu dekat dengan Alllah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan
akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam mengingatkan
kembali manusia siapa ia sebenarnya, yang berarti manusia dibangun dari
mimpinya yang ia sebut kehiduannya sehari-hari dan bahwa jiwanya bebas dari
pembatasan-pembatasan penjara khayali egonya itu yang memiliki timbangan
objektif di dalam apa yang disebut kehidupan dunia menurut bahasa keagamaan.
Taswuf atau sufisme adalah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan dalam
lubuk Islam dalam rangka menunujukkan munkinnya pelaksanaan kehidupan rohani
bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus
mengikuti agama yang diajarkan Alquran.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin. 2004. Metodologi Studi Islam.
Jakarta: Rajawali Pers.
Yunus, Mahmud. 1972. Kamus Arab-Indonesia.
Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzurriyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar