BAB I
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Lebih dari sepuluh tahun Reformasi, bangsa ini belum mampu tuntas memerangi KKN. Bahkan disinyalir semakin hari, penyakit yang merongrong negeri ini kian tumbuh varian-varian serta model baru. Publik pasti terus mendengar kasus korupsi yang menjerat pejabat publik negeri ini. Belum tuntas satu kasus yang menerpa satu pejabat, muncul kasus lain, muncul "gaya" baru dalam kasus tersebut.
Tak hanya
korupsi, suap pun disinyalir terus bermetamorfosis dengan sebutan-sebutan
anyar. Apakah itu uang hibah, hadiah, bahkan uang persahabatan. Di Indonesia,
korupsi dan suap agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat
penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seluruh negeri dengan jumlah
yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat. Hasil riset yang
dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di
negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di
dunia.
Oleh
karena itu penulis tertarik membahas tentang korupsi dan variansinya dalam
kehidupan masa kini. Untuk menambah wawasan kita mengenai korusi, suap, dan
pemberian hadiah serta bagaimana pandangan islam dalam mengkaji hal tersebut.
B. Batasan Masalah.
B. Batasan Masalah.
Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai :
1.
Pengertian Risywah (Suap), Ghulul (Korupsi), dan
Pemberian Hadiah pada Pejabat
2.
Pandangan Islam mengenai Risywah (Suap) dan
Ghulul (Korupsi).
3.
Pandangan Islam mengenai Pemberian Hadiah pada
Pejabat.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
Definisi
risywah
Risywah
menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau
lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau
untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah
al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan
kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan
mu’jam wasith).
Sedangkan
menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani
148).
2.
Unsur-unsur risywah
berdasarkan
definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah
jika memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Adanya
athiyyah (pemberian)
b. Ada
niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Bertujuan:
1. Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
2. Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
3. al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang
tidak dibenarkan)
4. al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang
bukan menjadi haknya)
5. al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)
3.
Beberapa istilah yang serupa dengan risywah
Bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian
(athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan
dengannya, di antaranya:
a. Hadiah
yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang ala sabilil ikram (sebagai
penghargaan).
Perbedaannya
dengan risywah adalah: hadiah diberikan ala sabilil ikram, sedangkan risywah
diberikan untuk mendapatkan yang diinginkannya.
b. Hibah
yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan
imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah al wahib
(pemberi) memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu sedangkan
ar-rasyi (penyuap) memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan
tertentu.
c. Shadaqah
yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan
pahala dari Allah SWT seperti zakat ataupun infaq sunnah. Perbedaannya dengan
risywah adalah orang yang bersedekah memberikan sesuatu karena mengharapkan
pahala dan ridha dari Allah semata, sedangkan ar-rasyi dalam pemberiannya
mengharapkan kepentingan duniawi.
Dan bila dilihat dari sisi kedua yaitu menerima atau
mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka tindakan lain yang serupa dengan
risywah, adalah korupsi. Korupsi adalah penyelewengan dan penggelapan harta
negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Dalam istilah Islam, korupsi agak sulit dicari persamaannya. Dalam
Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan mengambil harta tanpa hak,
misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah, ghulul dll. Semuanya mengandung
makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu bermuara pada pengambilan harta
dengan cara yang tidak benar. Dan biasanya Untuk memuluskan tindakan korupsi
disertai dengan risywah. Oleh karena itu banyak orang yang mengidentikkan
korupsi dengan risywah.
Bahkan
dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1 terdapat kemiripan
antara korupsi dan suap, dimana korupsi didefinisikan dengan:
« memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara,
dimana pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut supaya berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya »
4.
Hukum risywah
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait
dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang
dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama,
bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana
yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut
ini:
a. Firman
Allah ta’ala:
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
b. Firman
Allah ta’ala:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka
itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram” (QS Al Maidah 42).
Imam
al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan
risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh
Allah SWT
c. Rasulullah
SAW bersabda:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah
melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR
Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
d. Nabi
Muhammad SAW bersabda:
«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap
daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan
hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang
disuap.
5.
‘Risywah’ yang diperbolehkan
Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena
termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas
ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk
mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya
tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi) (Kasyful Qina’
6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla
8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
6.
Pembagian Risywah
Imam Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian:
a. Memberikan
sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi
penyuap maupun bagi penerima.
b. Memberikan
sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap
dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah
menjadi tugas dan kewajibannya.
c. Memberikan
sesuatu agar mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan
mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap
saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat
orang yang menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi
hartamu, tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak
apa-apa seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”.
Abu Laits As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta
dengan suap.
d. Memberikan
sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di pengadilan atau di instansi
tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan
instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima)
sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan
Masruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang
dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi.
Firman Allah SWT yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia
dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji,
Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu
berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” (QS.
Al-Maidah: 2)
(sumber:
mausu’ah fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)
7.
Risywah masa kini
Saat ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut,
seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa,
baik materi atau pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat
dari risywah itu sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang
dari dana yang bukan miliknya, seperti dana APBD, dll.
8.
Hukum pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi
a. Penguasa
Ibnu Hubaib
berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada penguasa,
hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi
Muhammad SAW memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan
penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum
terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz
ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan:
pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan
kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau
lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena
pangkat jabatan kita.
Hadits
Rasulullah SAW, “Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR
Ahmad)
b. Pejabat
pemerintah
hadiah yang
diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada
penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu
diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari
Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy
namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata
[kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda
beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat
apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah
seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat
dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara
dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih
ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda
Nabi SAW :
“ هدايا الأمراء غلول ”
“Hadiah
yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul,
secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari
rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata
Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan
dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu
adalah para penguasa dan pejabat.
c. Hakim
Pemberian
yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama,
karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun
digunakan sebagai investasi).
d. Mufti
Haram bagi
seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai
yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa
al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin
mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh
kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat
maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan
hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah
yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari
mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
e.
Guru/Dosen
Jika
pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu
dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan
tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak
diambilnya.
f. Saksi
Haram bagi
seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka gugurlah
keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni
9/40 dan 160).
9.
Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.
Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan disertai
risywah, maka para ulama berbeda pendapat apakah putusan itu sah dan harus
dilaksanakan atau putusan itu batal demi hukum:
a.
Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah
batal dan tidak boleh dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. (al
Bahrurraiq 6/284, al Mughni 9/40)
b. Al
Khashaf dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika
bertepatan dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar
yang telah ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)
10.
Sanksi bagi pelaku risywah
Risywah adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya
harus dikenai sanksi, baik ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai
penerima pemberian.
Dan
dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik
bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan
macamnya diserahkan kepada hakim.
11.
Cara pengembalian uang hasil risywah
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan
istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.
Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji
dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta
“ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama
‘hadiah’ dan ‘tanda terima kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif
syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’
(suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap
terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’
dsb.
Segala
sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus
dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya
jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus
diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul
lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaimana yang
dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat
setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya
diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui
maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kahulany, Muhammad Ibn Ismail. Subul As-Salam. Bandung: Maktabah
Dahlan, t.th.
Abdul Halim. S, Abu. Suap:Dampak dan Bahayanya bagi Masyarakat.
Pustaka al-Kautsar, 1996
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, Jakarta: Gema
Insani Press, 1988.
Quraish, M. Shihab. Tafsir Al-Mishbah volume 10, : Lentera Hati,
Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Jilid 19,
Semarang : PT. Karya Toha Putra, 1993.
Perspektif Hukum Islam Mengenai Korupsi
http://majelissabar.blogspot.com/2010/10/perspektif-hukum-islam-mengenai-korupsi.html
Surahman Hidayat, Risywah
(http://www.syariahonline.com/v2/bayan/1849-penjelasan-tentang-risywah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar