BAB I
PENDAHULUAN
Iman didefinisikan `aqdun
fi al-qalb, iqrarar bi al-lisan wa`amal bi al-arkan, yaitu
meyakinkan dalam hati, mengakui denagan lisan dan mengamalkan dengan anggota
baadan. Berdasarkan definisi ini, maka perbuatan dosa seperti mencuri, berzina,
atau merampas milik orang lain dan minum yang memabukkan merupakan perbuatan
yang menyebabkan keluar dari rasa keimanan. Hal ini dapat kita lihat seperti
yang terdapat pada arti hadits di bawah ini:
Hadits Abu Hurairah RA
bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak akan beriman seorang pelacur di waktu
berzina jika ia sedang beriman. Dan tidak akan minum khamr di waktu minum khamr
jika ia sedang beriman. Dan tidak akan mencuri di waktu mencuri jika ia sedang
beriman.” Di lain riwayat, “Dan tidak akan merampas rampasan yang
berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya ketika merampas jika
ia sedang beriman.” (Bukhari , Muslim).
Diantara keimanan dan
perbuatan dosa tidak akan bertemu. Semakin orang terjaga dari perbuatan
dosanya, semakin kuat keimanannya. Jadi perbuatan seorang mukmin didasarkan
atas kualitas keimanan yang terdapat didalam hatinya.
Minum khamr menyebabkan
hilang akal, gila. Orang gila dalam syariat Islam lepas dari tuntutan hukum.
Karena itu keimanan tidak berarti apa-apa bagi orang yang akalnya hilang.
Perkawinan laki-laki dan perempuan dari pasangan suami istri, maka perzinahan
merupakan satu sikap kufur terhadap syariah perkawinan tersebut. Demikian pula
perbuatan mencuri dan merampas hak orang lain merupakan perbuatan bertolak belakang
dengan perintah menjalin hubungan (khuwah innama al-mu`minuna ikhwatun),
tolong-menolong dalam kebaikan (wa-ta`awanu`ala al-bin), saling menjaga
jiwa, harta dan kehormatan sesama orang muslim (`ashamu ashamu dima`ahum wa
amwalahum wa `aradhahum). Karena itu wajar bila dalam Hadits tersebut
dirumuskan seperti itu.
BAB II
PEMBAHASAN
Berkurangnya Iman Karena
Maksiat Dan Terlepasnya Ketika Melakukan Maksiat
Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang
pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di
waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri
jika ia sedang beriman. Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas rampasan yang
berharga sehingga orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas
jika ia sedang beriman. (Bukhari, Muslim).
Arti Hadits ini termasuk hadits yang diikhtilafkan maknanya oleh para
ulama. Adapun pendapat yang shahih tentang makna hadits di atas adalah bahwa
tidak ada seorangpun yang melakukan perbuatan maksiat di atas sedang ia berada
dalam keimanan yang sempurna. Dengan kata lain, orang yang melakukan perbuatan
maksiat di atas maka dia termasuk orang yang tidak sempurna imannya.
Secara lafdiyah hadits ini menunjukkan makna bahwa yang melakukan perbuatan maksiat di atas termasuk orang yang tidak beriman, tetapi yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bukan hilangnya iman tetapi hilangnya kesempurnaan iman seseorang karena melakukan perbuatan maksiat di atas, hal ini didasarkan kepada hadits Abi Dzar di bawah ini,
Secara lafdiyah hadits ini menunjukkan makna bahwa yang melakukan perbuatan maksiat di atas termasuk orang yang tidak beriman, tetapi yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bukan hilangnya iman tetapi hilangnya kesempurnaan iman seseorang karena melakukan perbuatan maksiat di atas, hal ini didasarkan kepada hadits Abi Dzar di bawah ini,
سَرَقَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ الْجَنَّة دَخَلَ اللَّه إِلَّا إِلَه لَا قَالَ
مَنْ
Artinya : Barang siapa mengucapkan laa ilaaha illallah maka akan masuk
sorga, walaupun berzina, walaupun mencuri.
Serta didasarkan kepada hadits Ubadah bin Shamit yang shahih dan masyhur
yang atinya sebagai berikut:
Artinya : Mereka berbaiat kepada Rasulullah SAW. bahwa mereka tidak akan
mencuri, tidak akan zina, tidak akan berbuat maksiat dan seterusnya. Kemudian
Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa diantara kalian memenuhi janji ini, maka
pahalanya diserahkan kepada Allah dan barang siapa melakukan perbuatan tadi,
kemudian disiksa di dunia maka siksaan itu kifarat baginya, dan barang siapa
melakukan perbuatan tadi dan tidak disiksa maka keputusannya diserahkan kepada
Allah, jika Allah menghendaki maka akan mengampuninya, dan jika Allah
menghendaki maka Allah akan menyiksanya.
Firman Allah dalam Al Quran surat An Nisa ayat 48:
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar. (QS. An Nisa : 48).
Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan dosa besar selain syirik
tidak kafir, tetapi mereka adalah mu’min yang tidak sempurna imannya berbeda
dengan Khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar.
Adapun pendapat ulama yang lain, maksud dari hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan perbuatan maksiat tadi dan menghalalkan maksiat tersebut serta dia mengetahui bahwa perbuatan itu haram, maka orang tersebut telah hilang imannya atau menjadi kafir.
Adapun pendapat ulama yang lain, maksud dari hadits ini adalah bahwa orang yang melakukan perbuatan maksiat tadi dan menghalalkan maksiat tersebut serta dia mengetahui bahwa perbuatan itu haram, maka orang tersebut telah hilang imannya atau menjadi kafir.
Menurut Ja’far bin Jarir, makna hadits ini adalah bahwa orang yang
melakukan maksiat tersebut maka dia tidak layak disebut sebagai mu’min, tetapi
ia lebih layak dicela sebagai pencuri, pezina, fasik dan lain-lain.
Terlepas dari perbedaan ulama dalam memaknai hadits di atas, inti dari
hadits di atas adalah larangan bagi orang mu’min untuk melakukan maksiat zina,
minum khamr dan mencuri karena perbuatan itu akan mengurangi kesempurnaan
keimanan seseorang. Dengan demikian iman seseorang akan berkurang
kesempurnaannya jika dia melakukan maksiat, dan akan bertambah kesempurnaannya
jika melakukan ibadah.
Adapun tentang bertambah dan berkurangnya keimanan para ulama beda pendapat
:
- Imam Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail Al Asfahani dan Kitab At Tahrir fi Syarhi Shahih Muslim mengatakan
: Iman secara bahasa adalah tashdiq (membenarkan). Jika yang dimaksud iman
adalah tashdiq maka dia tidak bertambah dan tidak berkurang, karena
tashdiq itu tidak terdiri dari banyak bagian yang terkadang sempurna pada
suatu waktu dan berkurang pada waktu yang lain, dan jika tashdiq berkurang
maka berubah menjadi ragu-ragu. Adapun Iman menurut Syara’ adalah
membenarkan dalam hati dan diamalkan dengan perbuatan. Berdasarkan
pengertian ini maka iman bisa bertambah dan berkurang, dan ini adalah
madzhab Ahli Sunnah. Para ulama beda pendapat dalam masalah bagaimana jika
seseorang membenarkan dalam hati tapi tidak disertai dengan perbuatan
iman, apakah dia bisa disebut sebagai mu’min atau tidak ? dan menurut
pendapat mushannif orang tersebut tidak bisa disebut sebagai orang mu’min
berdasarkan hadits di atas.
- Menurut Imam Abu Hasan Ali bin
Khalaf dalam kitab Syarah Shahih Bukhari, madzhab Jamaah Ahli Sunnah
adalah ‘bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan yang bisa bertambah
dan berkurang’. Pendapat ini didasarkan kepada ayat-ayat Al Quran yang
disampaikan oleh Imam Bukhari. Firman Allah SWT:
Îeųo0ur tüûÏZÏB÷sßJø9$# ¨br'Î/ Mçlm; z`iÏB «!$# WxôÒsù #ZÎ7x.
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu
itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada
kita". dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. dan yang demikian itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (QS. Al Ahzab : 47).
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& spoYÅ3¡¡9$# Îû É>qè=è% tüûÏZÏB÷sßJø9$# (#ÿrß#y÷zÏ9 $Y»ZyJÎ) yì¨B öNÍkÈ»]yJÎ) 3 ¬!ur ßqãZã_ ÏNºu»qyJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 tb%x.ur ª!$# $¸JÎ=tã $VJÅ3ym
"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin
supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).
dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana, (QS. Al Fath : 4)
Dengan demikian jika seorang mu’min bertambah amal baiknya maka tambahlah
kesempurnaan imannya, dan jika berkurang amal baiknya maka berkuranglah
kesempurnaan imannya.
3.
Menurut pendapat ketiga
ini iman itu merupakan pembenaran dalam hati, diikrarkan oleh lisan dan
diamalkan dengan perbuatan. Jika salah satunya tidak ada maka dia belum bisa
disebut mu’min. Hal ini berdasarkan kepada firman Allah SWT yang artinya:
$yJ¯RÎ) qcãZÏB÷sßJø9$# tïûÏ%©!$# #sÎ) tÏ.è ª!$# ôMn=Å_ur öNåkæ5qè=è% #sÎ)ur ôMuÎ=è? öNÍkön=tã ¼çmçG»t#uä öNåkøEy#y $Y»ZyJÎ) 4n?tãur óOÎgnÎ/u tqbè=©.uqtGt ÈËÇ ïúÏ%©!$# qcßJÉ)ã no4qn=¢Á9$# $£JÏBur öNß»guZø%yu tqbà)ÏÿZã ÈÌÇ
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
3. (yaitu) orang-orang yang
mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.
(QS. Al Anfal : 2-3)
Malu Sebagian Dari Iman
حدثنا عبد الله بن يوسف
قال اخبرنا مالك بن انس عن ابن شهاب عن سالم بن عبد الله عن ابيه ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم مر على رجل من الانصار وهو يعظ اخاه في الحياء فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم دعه فان الحياء من الايمان (خر جه البخاري ف كتاب لايمان باب الحياء
من الايمان))
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah SAW lewat kepada seorang
laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW
berkata : Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.
(HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang salah satu cabang iman yaitu malu.
Sebagaimana dijelaskan oleh hadits bahwa iman itu memiliki 67 cabang, dan rasa
malu merupakan salah satu cabang iman.
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. Beliau bersabda : Iman itu enam puluh
lebih cabangnya, dan malu itu sebagian dari iman. (HR. Bukhari Muslim)
Malu menurut bahasa adalah keadaan takut dicela. Terkadang malu diartikan
dengan tidak melakukan sesuatu karena ada suatu sebab. Adapun malu dalam
istilah syara’ adalah akhlak yang mendorong manusia untuk meninggalkan
perbuatan buruk dan perbuatan yang tidak bermanfaat.
Malu merupakan sebuah watak, bisa juga merupakan akhlak. Malu yang
merupakan akhlak memerlukan upaya, ilmu dan niat, karenanya merupakan bagian
dari iman serta bisa mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan
mencegah dari maksiat.
Malu juga ada yang mendorong orang untuk melakukan maksiat, seperti malu
terhadap penguasa sehingga menimbulkan enggan untuk amar ma’ruf nahyil munkar
kepada pemerintah tersebut. Malu yang ini bukan malu yang sebenarnya, tetapi
malu tipe ini merupakan kelemahan, kerendahan dan kehinaan.
Mujahid berkata :
Mujahid berkata :
Orang yang pemalu tidak akan bisa mempelajari sebuah ilmu, begitu juga
orang yang takabbur.
Siti Aisyah berkata :
Wanita yang paling baik adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi
mereka untuk berusaha memahami agama.
Kedua malu yang dimaksud oleh Mujahid dan Siti Aisyah bukan malu yang
dimaksud oleh Hadits di atas, karena malu yang sebenarnya adalah malu yang bisa
mencegah orang dari melakukan maksiat, maka seolah-olah keimanannya yang
mencegah orang tersebut dari perbuatan maksiat.
BAB III
KESIMPULAN
Abu Hurairah r.a. berkata : Nabi Saw. Bersabda : Tidak akan berzina seorang
pelacur di waktu berzina jika ia sedang beriman, dan tidak akan minum khamr, di
waktu minum jika ia sedang beriman, dan tidak akan mencuri, di waktu mencuri
jika ia sedang beriman.
Di lain riwayat : Dan tidak akan merampas rampasan yang berharga sehingga
orang-orang membelalakkan mata kepadanya, ketika merampas jika ia sedang
beriman. (Bukhari, Muslim).
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang melakukan maksiat kadar keimanannya
berkurang, dengan demikian maka iman bisa bertambah dengan melakukan ibadah dan
iman bisa berkurang dengan melakukan maksiat.
Berkata Abdullah bin Umar r.a. : Rasulullah SAW lewat kepada seorang
laki-laki yang sedang menasihati saudaranya karena malu. Maka Rasulullah SAW
berkata : Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.
(HR. Bukhari Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa memiliki rasa malu yang mendorong orang untuk
melakukan amal shaleh dan menjauhi maksiat adalah sebagian dari iman, dengan
demikian maka seolah-olah yang mendorong dan mencegah mereka adalah keimanan
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar Al Atsqalani, Fathul Bari.
Maktabah Syamilah
Muhammad Fuad Abdul Baqi, 1996, Himpunan
Hadits Shahih yang Disepakati oleh Bukhari dan Muslim, PT. Bina Ilmu,
Surabaya.
Syarhun Nawawi Alal Muslim
Quran in Word, V. 1.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar