BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai
teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan
erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks.
Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara
spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama
adalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd
adz-dzari’ah merupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang
menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk
kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak
dimiliki oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki
sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang
sedemikian banyak
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ADZ-DARI’AH
Dari
segi bahasa, Adz-zhari’ah (jamak: adz-zara’i) berarti media yang menyampaikan
kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian istilah ushul fiqh, yang dimaksud
dengan adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai
kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’.[1]
Baik yang halal maupun yang haram (yang terlarang atau dibenarkan), dan menuju
ketaatan atau kemaksiatan. Oleh karena itu dalam kajian ushul fiqh, Adz-zhariah
dapat berarti sadd ad-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah, namun dikalangan ulama
ushul fiqh, jika kata ad-dzariah disebut secara sendiri, tidak dalam bentuk
kalimat majemuk, maka kata itu selalu digunakan untuk menunjuk pengertian sadd
adz-dzari’ah.
Yang
dimaksud dengan sadd adz-dzari’ah (makna generik: menutup jalan) ialah,
mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan mafsadah.
B.
Dasar hukum adz-Dzari’ah
Predikat-predikat
hukum syara’ yang dilekatkan kepada perbuatan yang bersifat adz-dzari’ah dapat
ditinjau dari dua segi :
a.
Ditinjau
dari segi al-baits (motif pelaku)
b.
Ditinjau
dari segi dampak yang ditimbulkannya semata-semata, tanpa meninjaunya dari segi
motif dan niat pelaku[2]
Al-Baits adalah motif yang mendorong pelaku untuk melakukan suatu
perbuatan, baik motifnya untuk menimbulkan sesuatu yang dibenarkan (halal)
maupun motifnya untuk menghasilkan sesuatu yang terlarang (haram). Misallnya
seseorang melakukan akad nikah dengan seorang wanita. Akan tetapi, niatnya
ketika menikah tersebut bukan untuk mencapai tujuan nikah yang disyar’atkan
Islam, yaitu membangun rumah tangga yang abadi, melainkan agar setelah
diceraikannya, wanita tersebut halal menikah lagi dengan mantan suaminya yang
telah mentalak tiganya.
Pada contoh diatas, motif para pelaku adalah melakukan perbuatan
yang halal dengan tujuan terlarang (haram)
Pada umumnnya motif pelaku suatu perbuatan sangat sulit diketahui
oleh orang lain, karena berada didalam kalbu orang yang bersangkutan. Oleh
karena itu, penilaian hukum segi ini bersifat diyanah( dikaitkan dengan dosa
atau pahala yang akan diterima pelaku diakhirat). Pada dzari’ah, semata-mata
pertimbangan niat.pelaku saja, tidak dapat dijadikan dasar untuk memberikan
ketentuan hukum batal atau fasadnya suatu transaksi.
Tinjauan yang kedua difokuskan pada segi maslahah dan mafsadah yang
ditimbulkan oleh suatu perbuatan, jika dampak yang ditimbulkan oleh rentetan
suatu perbuatan adalah kemaslahatan, maka perbutan tersebut diperintahkan
seusai dengan kadar kemaslahtannya. Sebaliknya jika rentetan perbuatan tersebut
membawa pada kerusakan, maka perbuatan tersebut terlaran sesuai dengan kadarnya
pula (haram atau makruh). Firman Allah dalam surat al-an’am ayat 108 :
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3
y7Ï9ºxx. $¨Yy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÉÑÈ
dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
C.
Contoh
Sadd Al-Dzari’ah
Sebagai
yang dimaksud pada dasarnya menjual anggur
adalah mubah (boleh) karena anggur adala buah-buahan yang halal dimakan.
Akan tetapi menjual anggur kepada orang yang akan mengolahnya menjadi minuman
keras menjadi terlarang. Perbuatan tersebut terlarang karena akan menimbulkan
mafsadah,. Larangan tersebut mencegah agar orang jangan membuat minuman keras
dan agar orang terhindar dari meminum minuman keras yang memabukkan.
Seseorang
dikenai wajib zakat, jika sudah sampai satu nisab dan haulnya tetapi untuk
menghindari zakat tersebut dihibahkannya sebagian hartanya pada anaknya.
Sehingga kewajiban zakat menjadi gugur. Yang menjadi larangan disini adalah
tujuan ia menghibahkan sebagian harta itu adalah untuk menghindari wajib zakat
yang jatuh padanya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari segi
bahasa, Adz-zhari’ah (jamak: adz-zara’i) berarti media yang menyampaikan kepada
sesuatu. Sedangkan dalam pengertian istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan
adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media dan jalan untuk sampai kepada
sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’. Baik yang halal maupun yang haram
(yang terlarang atau dibenarkan), dan menuju ketaatan atau kemaksiatan
B.
SARAN
Makalah
kami ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran membangun senantiasa
kami nantikan. Terakhir kami mohon ma’af atas kesalahan dan kekurangan yang terdapat
dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
H. Abd. Dahlan,Rahman “Ushul Fiqih” Amzah.Jakarta.2011
Dr.H.
Bakry. Nazar “Fiqih & Ushul Fiqih” PT.Raja Grapindo
Persada.Jakarta.2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar