BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Instrumen memegang
peranan yang sangat penting dalam menentukan mutu suatu penelitian, karena
validitas atau kesahihan data yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh
kualitas atau validitas instrumen yang digunakan, di samping prosedur
pengumpulan data yang ditempuh. Hal ini mudah dipahami karena instrumen
berfungsi mengungkapkan fakta menjadi data, sehingga jika instrumen yang
digunakan mempunyai kualitas yang memadai dalam arti valid dan reliabel maka
data yang diperoleh akan sesuai dengan fakta atau keadaan sesungguhnya di
lapangan. Sedangkan jika kualitas instrumen yang digunakan tidak baik dalam
arti mempunyai validitas dan reliabilitas yang rendah, maka data yang diperoleh
juga tidak valid atau tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sehingga dapat
menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Untuk mengumpulkan
data dalam suatu penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang telah
tersedia dan dapat pula menggunakan instrumen yang dibuat sendiri. Instrumen
yang telah tersedia pada umumnya adalah instrumen yang sudah dianggap baku
untuk mengumpulkan data variabel-variabel tertentu.
Dalam rangka memahami pengembangan
instrumen penelitian, maka berikut ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang
terkait, diantaranya pengertian instrumen, langkah-langkah pengembangan
instrumen, validitas dan reliabilitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN INSTRUMEN
Instrument penelitian adalah alat –
alat yang digunakan untuk memperoleh atau mengumpulkan data dalam rangka
memecahkan masalah penelitian atau mencapai tujuan penelitian. Jika data yang
diperoleh tidak akurat (valid), maka keputusan yang diambilpun akan tidak
tepat.
Instrumen memegang peranan penting
dalam menentukan mutu suatu penelitian dan penilaian. Fungsi instrumen adalah
mengungkapkan fakta menjadi data. Menurut Arikunto, data merupakan penggambaran
variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis, benar
tidaknya data tergantung dari baik tidaknya instrumen pengumpulan data.
B.
JENIS - JENIS INSTRUMEN PENELITIAN
Secara garis besar instrument
penelitian sosial dan pendidikan terbagi menjadi dua bagian yaitu penelitian
kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada
latar yang alami (natural setting), lebih memperhatikan proses
daripada hasil semata, dan yang terpenting adalah berusaha memahami makna dari
suatu kejadian atau berbagai interaksi dalam situasi yang wajar (Bogdan &
Biklen, 1982:27-30).
Oleh karena itu instrument yang digunakan
bukanlah kuesioner atau tes, melainkan si peneliti itu sendiri. Pemanfaatan
manusia sebagai instrument penelitian dilandasi oleh keyakinan bahwa hanya
manusia yang mampu menggapai dan menilai makna dari suatu peristiwa atau
berbagai interaksi sosial. Menurut Lincoln dan Guba (1985) ada tujuh hal yang
membuat manusia menjadi instrument yang memiliki kualifikasi baik, yaiti: (1)
responsive, (2) adaptif, (3) holistic, (4) memahami konsep yang tak terkatakan,
(5) mampu memproses data secara langsung, (6) mampu mengklasifikasi dan
meringkas data dengan segera, (7) mampu mengeksplorasi respon yang khusus dan
istimewa. Singkatnya semua alat – alat yang digunakan oleh peneliti kualitatif
dalam mengumpulkan data adalah sekedar alat bantu, sedangkan instrument utamanya
adalah dirinya sendiri.
Penelitian yang
menggunakan pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang datanya berbasis pada
angka yang kemudian diuji dengan menggunakan perhitungan statistik. Dalam hal
ini penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi tiga bagian,
yaitu: (1) tes, (2) kuesioner, (3) pedoman observasi. Namun bila dikaji lebih
jauh, sebagaimana yang akan ditunjukan pada bahasan mengenai tes, akan lebih
tepat kalau instrument penelitian dipilahkan menjadi empat bagian, yaitu: (1)
tes, (2) inventori, (3) kuesioner, (4) pedoman observasi.
Pemilahan instrument penelitian
menjadi empat dipandang lebih tepat, karena masing – masing jenis instrument
memiliki karakteristik yang khas. Dalam tes, khususnya tes objektif, dikenal
adanya jawaban benar dan salah sehingga dapat diberi skor satu dan
nol, masing – masing untuk jawaban benar dan salah. Dalam inventori dan
kuesioner jarang ada pernyataan/pernyataan yang dapat dinilai secara benar dan
salah.
Kuesioner digunakan untuk menjaring
data yang bersifat informative factual, sehingga uji validitas butir secara
empirik tidak dapat dilakukan. Akibatnya tingkat reliabilitas instrument yang
berupa kuesioner tidak dapat diestimasi dengan menggunakan statistik.
Sebaliknya, butir – butir pertanyaan – pertanyaan didalam tes dan inventori
wajib diuji validitasnya secara empirik. Antara tes dan inventori ada
kemungkinan menggunakan cara yang tidak sama.
Pedoman observasi digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulksn data yang dapat diamati secara nyata, maka pengujian
validitas butir pernyataan dalam pedoman observasi tidak dapat dilakukan secara
empirik. Begitu pula tingkat reliabilitasnya tidak dapat diestimasi dengan
menggunakan pendekatan statistik.
1.
TES SEBAGAI INSTRUMEN PENELITIAN
Dilihat dari
aspek yang diukur , tes dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tes
non-psikologis dan tes psikologis. Jenis tes psikologis dibedakan lagi menjadi
dua macam, yaitu tes psikologis yang mengukur aspek afektif dan tes psikologis
yang digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual.
tes psikologis yang dirancang untuk
mengukur aspek afektif atau aspek non-intelektual dari tingkah laku umumnya
dikenal dengan nama tes kepribadian (personality tests). ”Tes
kepribadian” paling banyak digunakan untuk mengukur karakteristik seperti :
pernyataan emosional, hubungan interpersonal, motivasi, minat, dan sikap. Tes
psikologis jenis inilsh yang dalam bahasan selanjutnya disebut dengan
nama inventory
Tes
psikologis yang dimaksudkan untuk mengukur aspek kemampuan intelektual disebut
dengan nama tes kemampuan (ability tests). Termasuk dalam kategori tes
kemampuan ini adalah tes bakat (aptitude tests) dan tes kemahiran (proficiency
tests). Tes prestasi belajar (achievement tests) termasuk dalam
kategori kemahiran (Joni, 1984: 30).
Agar tes
yang kita buat mampu memenuhi ketiga kriteria itu secara optimal,
maka dalam penyusunannya haruslah mengikuti prosedur dan melalui proses yang
benar. Prosedur yang ditempuh dalam menyusun atau mengembangkan tes kemampuan
dalam rangka penelitian pada dasarnya adalah sebagai berikut:
(1) Penetapan Aspek yang Diukur
Dalam pengembangan tes hasil belajar
ada dua aspek yang mendapat perhatian, yaitu:
1. Materi
pelajaran
2. Aspek
kepribadian (ranah kognitif, afektif, dan/ psikomotor) yang diukur.
(2) Pendeskripsian Aspek yang Diukur
Pendeskripsian aspek yang diukur
tidak lain dari penjabaran lebih lanjut dari definisi operasional variable yang
telah dilakukan pada langkah pertama. Untuk penyusunan tes, deskripsi variable
ini dituangkan dalam bentuk table spesifikasi atau lebih dikenal dengan nama
kisi-kisi tes. Di dalamnya termuat materi pelajaran dan aspek kepribadian yang
diukur, bentuk tes dan tipe soal yang digunakan, serta jumlah soal.
(3) Pemilihan Bentuk Tes
Pemilihan bentuk tes di sini ialah tipe
soal dilihat dari caranya peserta tes memberikan jawaban dan cara peneliti
memberikan skor. Jika peserta tes memiliki kebebasan yang luas dalam menjawab
soal-soal tes, maka dikatakan bahwa tes itu adalah tes subjektif (free
answer tests). Sebaliknya, jika peserta tes tidak memiliki kebebasan dalam
menjawab soal-soal tes, bahkan hanya tinggal memilih dari jawaban yang telah
disediakan, maka tes itu disebut tes objektif (restricted answer tests).
Dilihat dari caranya peneliti
memberikan skor, tes juga dibedakan menjadi tes subjektif dan tes objektif.
Dinamakan tes subjektif apabila pada waktu member skor, peneliti harus
memberikan pertimbangan terlebih dahulu terhadap jawaban yang diberikan oleh
peserta tes. Setelah itu, barulah ia dapat memberikan skor. Sebaliknya, suatu
tes dinamakan tes objektif manakal peneliti dapat memberikan skor secara
langsung tanpa harus mempertimbangkan jawaban yang diberikan oleh peserta tes.
Hal ini dimungkinkan karena jawaban terhadap tes objektif, terutama model
pilihan, sudah bersifat pasti. Singkatnya, perbedaan tes subjektif dan tes
objektif dapat dilihat dari dua aspek: (1) dari kebebasan peserta tes dalam
menjawab soal-soal tes dan (2) dari caranya memberikan skor.
(4) Penulisan Butir Soal
(5) Perakitan Butir Soal
Perakitan butir soal ke dalam suatu
tes didasarkan atas bentuk dan tipe soal yang dibuat,
bukan disusun menurut urutan materi pelajaran. Buti-butir soal tes objektif
dikelompokkan tersendiri, demikian juga halnya dengan soal-soal tes subjektif.
(6) Pelaksanaan Uji Coba Tes
Kegiatan uji coba instrumen ini
dimaksudkan untuk mengetahui: (1) validitas butir soal, (2) tingkat
reliabilitas tes, (3) ketepatan petunjuk dan kejelasan bahasa yang digunakan,
dan (4) jumlah waktu riil yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tes.
(7) analisi hasil uji coba
Analisi terhadap hasil uji coba tes
dimaksudkan untuk mengetahui secara empirik validitas butir soal dan tingkat
reliabilitas tes. Ukuran yang digunakan untuk menilai validitas butir soal
adalah indeks kesukaran soal (P) dan indeks daya beda soal (D).
(8) Seleksi, Penyempurnaan, dan
Penataan Butir Soal
Seleksi atau penyempurnaan butir
soal diperlukan karena biasanya selalu ada soal yang tidak memenuhi syarat
dilihat dari kriteria tingkat kesukaran dan daya beda soal. Oleh sebab itu,
jumlah soal yang ditulis untuk keperluan uji coba selalu harus lebih banyak
dari jumlah yang diperlukan. Lazimnya soal yang tergolong mudah sebagian
ditaruh di bagian paling awal dari tes, sedangkan yang sebagian lagi
ditempatkan di bagian paling akhir.
(9) Pencetakan Tes
Yang perlu mendapat perhatian dalam
hal ini antara lain format, jenis dan model huruf yang digunakan. Format tes
berkenaan dengan tata letak (lay out) dari soal-soal di dalam tes,
sedangkan jenis dan model huruf erat hubungannya dengan besar dan kejelasan
huruf yang digunakan. Semuanya ini perlu diperhatikan agar penampilan tes
menjadi rapi, “indah”, dan jelas sehingga menarik untuk dikerjakan.
Jika kesembilan tahap dalam
penyusunan tes tadi dapat dikerjakan dengan seksama, kiranya peluang untuk
mmemperoleh tes yang valid dan reliable akan lebih besar.
2.
PENYUSUNAN INVENTORI
Inventori
adalah instrument yang digunakan untuk mengukur karakteristik psikologis
tertentu dari individu. Karena itu, inventori sering disinonimkan dengan tes kepribadian.
Perbedaan yang Nampak jelas antara inventori dengan tes (kemampuan) ialah dalam
hal sifat jawaban yang diberikan. Dalam inventori, jawaban yang diberikan
merupakan suatu keadaan yang sewajarnya, suasana keseharian yang dirasakan dan
dialami, atau sesuatu yang diharapkan. Dengan kata lain, dalam menjawab
pernyataan/pertanyaaan di dalam inventori, orang tidak perlu belajar terlebih
dahulu. Cukuplah kiranya jika ia dapat membaca dan/atau memahami hal-hal yang
ditanyakan kepadanya. Karakteristik inventori yang demikian itu menuntut tata
cara penyusunan yang berbeda dengan tes. Adapun prosedur yang dimaksud adalah:
(1) Penetapan
Konstruk yang Diukur
Konstruk menunjuk pada hal-hal yang
pada dasarnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti persepsi, minat,
motivasi, sikap dan yang sejenisnya. Misalnya, variable yang akan diteliti
adalah “ sikap nasionalisme siswa SMA”. Dari variable penelitian ini dapat
diidentifikasi bahwa konstruk yang akan diukur adalah sikap.
(2) Perumusan
Definisi Operasional.
Definisi operasional adalah definisi
yang didasarkan atas sifat – sifat hal yang didefinisikan sehingga dapat
diamati. Adapun cara yang dapat ditempuh untuk menyusun definisi operasional
variable jenis ini dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu adalah:
a) Yang
menekankan pada kegiatan apa yang dilakukan agar konstruk yang didefinisikan
itu terjadi.
b) Yang
memberikan aksentuasi kepada bagaimana kegiatan itu dilakukan, dan
c) Yang
menitikberatkan pada sifat – sifat statis dari konstruk yang didefinisikan.(Suryabrata,
1983:84)
(3) Pendeskripsian
konstruk
Ketika langkah kita sudah sampai
pada kegiatan merumuskan definisi operasional konstruk (variable) yang akan
diukur, seringkali belum dapat secara langsung disusun alat ukurnya. Definisi
operasional itu belum mampu menunjukan scara rinci mengenai isi konstruk
(variable) yang hendak diukur, sehingga diperlukan adanya deskripsi atas
konstruk (variable) tersebut. Untuk mempermudah penyusunan pernyataan dalam
inventori, kebanyakan peneliti menuangkan deskripsi konstruk (variable) itu
dalam bentuk matrik. Contoh dari deskripsi konstruk (variabel) yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Tabel deskripsi variable sikap
nasionalisme
Konstruk
|
Variable
|
Sub - variabel
|
Indikator
|
Sikap
|
Sikap
nasionalisme siswa SMA
|
Cinta dan
bangga sebagai bangsa indonesia
|
v Gemar menggunakan bahasa indonesia
v Suka produksi dalam negeri
v Mengembangkan kebudayaan nasional
|
Rela
berkorban untuk kepentingan nasional
|
v Mengutamakan kepentingan umum/bangsa
v Besedia mengikuti WAMIL
v Mau bekerja diseluruh wilayah indonesia
|
||
Memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa
|
v Toleran
v Bersedia menerima perbedaan SARA
v Bersedia ikut dalam program pertukaran
pemuda
|
(4) Menyusun
butir – butir pernyataan
Setelah deskripsi variable dapat
dirampungkan, maka penulisan butir – butir pernyataan (items) dalam inventori
akan dapat dilakukan secara lebih mudah. Kegiatan menulis pernyataan –
pernyataan ini merupakan langkah yang kritis, karena dari pernyataan –
pernyataan inilah akan dihasilkan data yang diperlukan. Kualitas penyataan yang
dihasilkan tidak hanya ditentukan oleh penguasaan pengetahuan yang bersifat
teoritis, tetapi harus didukung oleh latihan yang terarah, pengalaman yang
cukup, kreatifitas dan kesungguhan, disamping faktor kiat yang diimiliki oleh
masing – masing peneliti.
(5) Pelaksanaan
uji coba
Kegiatan uji coba instrument dalam
proses penyusunan inventori mempunyai maksud yang sama dengan pelaksanaan uji
coba tes. Bedanya dalam cara atau tekhnik yang digunakan untuk menguji
validitas butir pernyataan dan mengestimasi tingkat reliabilitas instrument.
Hal ini disebabkan oleh pemberian skor yang bersifat bergradasi.
Seperti halnya tes, subjek uji coba
inventori harus memiliki karakteristik yang sama atau identik dengan subjek
penelitian. Mengenai jumlah subjek yang diperlukan untuk keperluan uji coba ini
berlaku rumus umum yang menyatakan bahwa semakin banyak subjek akan semakin
baik. Jika subjek penelitian terbatas, sebaiknya jumlah subjek uji coba inventori
tidak kurang dari 30.
(6) Analisi
hasil uji coba
Dalam inventori, jawaban responden
tidak dapat dinilai benar atau salah, melainkan bergradasi. Oleh sebab itu,
validitas butir pernyataan hanya didasarkan atas indeks daya beda soal.
Sedangkan perhitungan indeks daya beda soal ini dapat menggunakan tekhnik
analisis korelasi atau uji beda nilai rata – rata. Selanjutnya, estimasi
tingkat reliabilitas instrument menggunakan rumus penghitungan koefisien Alpha
dan Kronbach.
(7) Seleksi,
penyempurnaan, dan penataan butir pernyataan
Jarang sekali semua butir pernyataan
dalam suatu inventori dinyatakan valid setelah melalui proses uji coba.
Pengalaman menunjukan bahwa selalu ada butir - butir pernyataan yang
dinyatakan kurang atau tidak valid. Butir pernyataan yang tidak valid perlu
diganti, sedangkan yang kurang valid masih dapat dipakai setelah disempurnakan,
setelah itu barulah dilakukan penataan butir pernyataan.
Ada satu hal yang perlu
ditambahkan dalam penyusunan inventori, yaitu kata pengantar. Lazimnya kata
pengantar berisi penjelasan tentang maksud dan tujuan dilaksanakannya
penelitian. Hal ini penting, untuk menghilangkan ketidakpastian, kecurigaan,
dan kehawatiran dalam diri responden, sehingga mereka akan bersedia memberikan
jawaban sebagaimana yang diharapkan. Etika penelitian sosial juga menyarankan
agar maksud dan tujuan penelitian betul – betul jelas bagi responden sehingga
asas informed consent terpenuhi (Smith, 1981:15). Rekomendasi
dari instansi yang berwenang (misalnya pemerintah daerah, kanwil depdikbud)
dapat dicantumkan sebagai kelengkapan isi kata pengantar. Selain itu jaminan
akan kerahasiaan pribadi dan informasi yang diberikan responden penting juga
diutarakan pada bagian pengantar. Bagian akhir biasanya berisi ucapan
terimakasih atas kesediaan responden untuk membantu menyukseskan pelaksanaan
penelitian.
3.
KUESIONER SEBAGAI INSTRUMENT PENELITIAN
Kuesioner
dari kata question = pertanyaan, adalah suatu daftar
yang berisi serangkaian pertanyaan mengenai suatu hal dalam suatu bidang (Koentjaraningrat,
1980:215). Kuesioner banyak digunakan dalam penelitian pendidikan dan
penelitian sosial yang menggunakan rancangan survei, karena ada beberapa
keuntungan yang diperoleh, yaitu adalah:
a) Dapat
disusun secara teliti dalam situasi yang tenang sehingga pertanyaan –
pertanyaan yang terdapat didalamnya dapat mengikuti sistematik dari masalah
yang diteliti.
b) Penggunaan
kuesioner memungkinkan peneliti menjaring data dari banyak responden dalam
periode waktu yang relative singkat.
Adapun kelemahan dari instrument
kuesioner adalah sebagai berikut:
a) Sulit
bagi peneliti untuk menangkap kejadian atau suasana khusus pada waktu data
dikumpulkan.
b) Kurang
memberi keleluasaan untuk mengubah susunan pertanyaan agar lebih cocok dengan
alam fikiran atau pengetahuan para penjawab.
c) Penelitian
yang hanya menggunakan kuesioner saja tidak dapat menghasilkan temuan yang
mendalam dan utuh.
Adapun cara
penyelesaian/mengantisipasi kelemahan diatas adalah dengan cara harus
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan sifat masalah yang digarap, tujuan yang
hendak dicapai, jenis variable penelitian, dan karakteristik subjek penelitian.
1. Penyusunan
kuesioner
Prosedur penyusunan kuesioner hampir
sama dengan prosedur penyusunan inventori. Bedanya terlihat pada langkah ke
lima, yaitu pelaksanaan uji coba instrument. Dalam penyusunan kuesioner,
kegiatan uji coba bukanlah untuk menguji validitas butir pertanyaan secara
statistik, melainkan untuk mengetahui kejelasan petunjuk pengerjaan,
kekomunikatifan bahasa yang digunakan, dan jumlah waktu riil yang dibutuhkan
untuk dapat menjawab semua pertanyaan secara baik. Dengan demikian, prosedur
yang ditempuh dalam menyusun kuesioner adalah:
(1) Menetapkan
objek yang akan diukur
(2) Merumuskan
definisi operasional
(3) Membuat
deskripsi dari objek yang diukur
(4) Menyusun
butir – butir pertanyaan
(5) Melakukan
uji coba
(6) Menyempurnakan
dan menata butir – butir prtanyaan dalam satu kesatuan secara sistematis.
Dalam
menyusun butir – butir pertanyaan kuesioner ada dua hal yang perlu diperhatikan
secara seksama, yaitu jenis pertanyaan yang dipergunakan dan tata urutannya
didalam kuesioner. Dilihat dari bentuknya , pertanyaan yang dapat digunakan
dalam kuesioner dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1) Pertanyaan
terbuka (tak tersetruktur)
2) Pertanyaan
tertutup ( terstruktur)
3) Dan
pertanyaan semi terbuka
Pertanyaan terbuka hampir sama
pengertiannya dengan soal tes subjektif, yaitu pertanyaan yang jawabannya
bersifat luas dan beragam. Dengan kata lain, responden memiliki keleluasaan
yang besar dalam merespon. Dalam pertanyaan tertutup, keleluasaan yang demikian
itu tidak dimiliki, bahkan kebebasan yang dimiliki responden sangat terbatas,
mengingat jawaban terhadap pertanyaan itu telah tersedia. Responden hanya
tinggal memilih satu atau beberapa dari alternative jawaban yang ada.
Pertanyaan
terbuka cocok digunakan jika peneliti bermaksud untuk memperoleh informasi
sebanyak – banyaknya mengenai objek yang diteliti tanpa struktur yang jelas.
Hal kedua
yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kuesioner ialah tentang tata urutan
pertanyaan yang terdapat didalamnya. Pertanyaan – pertanyaan tersebut hendaknya
tidak disusun secara random, melainkan mengikuti suatu pola tertentu. Adapun
pola yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pertanyaan yang mudah menuju ke
pertanyaan yang sukar, dari pertanyaan yag sederhana ke pertanyaan yang
kompleks, dari pertanyaan yang bersifat umum menuju ke pertanyaan yang bersifat
khusus.
2. Penggunaan
kuesioner
Dalam
penggunaan kuesioner ada langkah – langkah yang harus diambil atau yang perlu
dilakukan yaitu adalah mengadakan diskusi dengan orang lain yang
dianggap tahu dan mampu, misalnya sarjana lain atau pejabat, untuk memberikan
kritik yang sehat dan saran – saran perbaikan terhadap kuesioner yang telah
disusun. Cara lain yang juga dapat ditempuh ialah melakukan usaha menguji cobakan
kuesioner yang telah disusun kepada subjek yang memiliki karakteristik yang
identik dengan subjek penelitian yang sebenarnya. Suasan yang meliputi
wawancara berkuesioner harus bersifat bebas, tanpa ada perasaan khawatir,
curiga atau takut sama sekali,. Ini perlu diingat terutama jika berhadapan
dengan masyarakat desa, karena masih banyak diantara mereka yang merasa tidak
tentram kalau jawabannya yang diberikannya langsung dicatat diatas kertas oleh
peneliti.
4.
PENYUSUNAAN PEDOMAN PENGAMATAN
Pedoman pengamatan
(observasi) diperlukan terutama jika peneliti menerapkan pengamatan terfokus
dalam proses pengumpulan data. Dalam pengamatan terfokus, peneliti memusatkan
perhatiannya hanya pada beberapa aspek prilaku atau fenomena yang menjadi objek
sasarannya. Misalkan seorang dosen mengadakan penelitian untuk mendskripsikan
kemampuan mengajar para guru SMP di kabupaten Malang. Untuk keperluan ini ia
menggunakan alat penilaian kemampuan guru (APKG) sebagai pedoman pengamatan.
APKG ini telah menjabarkan secara operasional aspek prilaku yang harus diamati.
Untuk kemampuan membuka pelajaran, misalnya aspek
prilaku yang diamati adalah sebagai berikut ( Turney, 1973; Abimanyu, 1983).
1. Kemampuan
menarik perhatian, dengan deskriptor:
a) Gaya
mengajar yang bervariasi
b) Menggunakan
alat bantu (media) mengajar
c) Pola
interaksi yang bervariasi
2. Kemampuan
menumbuhkan motivasi belajar, dengan deskriptor:
a) Bersikaf
“hangat” dan antusias
b) Menimbulkan
rasa ingin tahu
c) Mengemukakan
ide yang bertentangan
d) Memperhatikan
minat siswa
3. Kemampuan
memberi acuan, dengan deskriptor:
a) Mengemukakan
tujuan dan batas tugas
b) Menyarankan
tujuan dan langkah yang dilakukan
c) Mengingatkan
masalah pokok yang akan dibahas
d) Mengajukan
pertanyaan
4. Kemampuan
membuat kaitan, dengan deskriptor:
a) Membuat
kaitan antar aspek
b) Mengaitkan
antara yang sudah diketahui dan yang belum diketahui
c) Menjelaskan
konsep lebih dulu, kemudian diikuti dengan penjelasan materi.
Pedoman
pengamatan mempunyai karakteristik yang identik dengan pedoman wawancara.
Sementara itu prosedur pengembangan pedoman wawancara tidak berbeda dengan
prosedur penyusunan kuesioner. Dalam beberapa hal, kuesioner dapat dipandang
sebagai pedoman wawancara dalam wujudnya yang sangat rinci. Dengan demikian
prosedur penyusunan pedoman pengamatan pada prinsipnya sama dengan penyusunan
kuesioner. Dalam penyusunan kuesioner ada 6 tahapan yaitu adalah:
(1) Menetapkan
objek yang akan diamati
(2) Merumuskan
definisi operasional mengenai objek yang akan diamati
(3) Memuat
deskripsi tentang objek yang akan diamati
(4) Memuat
dan menyusun butir – butir pernyataan singkat tentang indikator dari objek yang
diamati
(5) Melakukan
uji coba
(6) Menyempurnakan
dan menata butir – butir pernyataan ke dalam satu kesatuan yang utuh dan
sistematis.
C.
KRITERIA INSTRUMEN PENELITIAN YANG BAIK
Ada tiga kriteria pokok yang harus
dipenuhi oleh suatu instrument penelitian agar dapat dinyatakan memiliki kualitas
yang baik. Kriteria tersebut adalah: (1) validitas, (2)
reliabilitas, (3) praktikabilitas (Gronlund & Linn, 1997:47). Dua kriteria
yang disebutkan pertama perlu mendapatkan perhatian yang seksama dalam
pengembangan instrument penelitian. Seperti yang dinyatakan oleh Kerlinger
(1973:442), “Apabila seorang peneliti tidak mengetahui validitas dan
reliabilitas instrument yang digunakannya, maka sedikit keyakinan yang dapat
diberikannya kepada data yang diperoleh dan kesimpulan yang diambil dari data
tersebut”.
1. Validitas
Suatu instrument dikatakan
telah memiliki validitas (kesahihan/ketepatan) yang baik ‘ jika instrument
tersebut benar – benar mengukur apa yang seharusnya hendak diukur”. (Nunnally,
1978:86).
Ketepatan beberapa alat ukur
relative mudah ditetapkan, seperti penggaris untuk mengukur panjang dan
timbangan untuk mengukur berat. Validitas instrument lebih tepat diartikan
sebagai derajat kedekatan hasil pengukuran dengan keadaan yang sebenarnya
(kebenaran), bukan masalah sama sekali benar atau seluruhnya salah.
Validitas mengacu pada ketepatan
interpretasi yang dibuat dari data yang dihasilkan oleh suatu instrument dalam
hubungannya dengan suatu tujuan tertentu. Sebagai contoh, sebuah tes yang
dipakai untuk keperluan seleksi mahasiswa baru mungkin valid untuk tujuan
tersebut, namun kurang atau tidak valid untuk mengukur tingkat penguasaan siswa
terhadap bahan pelajaran di SMTA.
Berkenaan dengan hal tersebut,
validitas instrument dibedakan menjadi tiga bagian besar yang dikenal dengan
nama validitas isi, validitas kriteria, dan validitas konstruk(Gronlund &
linn, 1990; Anastasi, 1988; Kerlinger, 1973)
(1) Validitas
isi yang sering juga disebut dengan validitas kurikuler, validitas
intrinsik atau validitas kerevrentatipan, diartikan sebagai derajat
keterwakilan aspek kemampuan yang hendak diukur di dalam butir – butir
instrument. Untuk mengetahui validitas isi suatu instrument ialah dengan jalan
membandingkan butir – butir instrument dengan spesifikasi (kisi – kisi)
instrument yang merupakan deskripsi dari aspek yang hendak diukur.
(2) Validitas
kriteria menunjuk pada seberapa baik suatu instrument mampu
memprediksi penampilan di masa datang atau mengestimasi penampilan di masa
sekarang. Misalnya, untuk mengetahui validitas prediktif dari tes masuk
perguruan tinggi digunakan kriteria prestasi belajar yang dicapai oleh
mahasiswa. Dengan demikian, prosedur yang ditempuh untuk mengetahui validitas
kriteria ini ialah dengan jalan membandingkan hasil pengukuran dari instrument
yang mau diuji validitasnya dengan hasil pengukuran instrumen lain pada tanggal
yang kemudian (untuk validitas prediksi) atau dengan hasil pengukuran
instrument lain pada masa sekarang untuk validitas konkuren).
(3) Validitas
konstruk merupakan hal yang paling sulit untuk diketahui, karena
hal ini menunjuk pada seberapa jauh suatu instrument mampu mengukur secara
akurat hal – hal yang berdimensi psikologis. Untuk keperluan ini biasanya
digunakan analisis faktor, suatu jenis teknik analisis statistik yang tergolong
dalam statistik lanjut.
2. Reliabilitas
Diartikan sebagai keajegan (consistency)
hasil dari instrument tersebut. Ini berarti, suatu instrument dikatakan
memiliki keterandalan sempurna, manakala hasil pengukuran berkali-kali terhadap
subjek yang sama selalu menunjukkan hasil atau skor yang sama.
Estimasi reliabilitas instrument
dilandaskan pada teori salah ukur (measurement error) ini. Semakin kecil
salah ukur semakin kecil pula perbedaan skor riil dengan
skor sebenarnya, sehingga koefisien reabilitasnya menjadi semakin tinggi.
Ada empat metode yang dapat dipakai
untuk mengestimasi tingkat reliabilitas instrument, yaitu : metode tes ulang (test-retest
method), (2) metode bentuk setara (equivalent form method), (3)
metode belah dua (split half method), dan (4) metode konsistensi
internal (internal consistency method).
3. Praktikabilitas
Syarat ketiga yang harus
dipenuhi oleh instrument untuk dapat dikatakan baik ialah kepraktisan atau
keterpakaian (usability). Instrumen yang baik pertama-tama harus
ekonomis baik ditinjau dari sudut uang maupun waktu. Kedua, ia harus mudah
dilaksanakan dan diberi skor, dan yang terakhir, instrument itu harus mampu
menyediakan hasil yang dapat diinterpretasikan secara akurat serta dapat
digunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan (Groulund & Linn, 1990)
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Instrumen adalah alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Data yang terkumpul dengan
menggunakan instrumen tertentu akan dideskripsikan dan dilampirkan atau
digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam suatu penelitian.
Untuk mengumpulkan data dalam suatu
penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang telah tersedia dan dapat pula
menggunakan instrumen yang dibuat sendiri. Instrumen yang telah tersedia pada
umumnya adalah instrumen yang sudah dianggap baku untuk mengumpulkan data
variabel-variabel tertentu. Instrument penelitian memiliki kualitas yang baik
bila memenuhi tiga dari criteria pokok instrument yaitu adalah: validitas,
reliabilitas, dan praktikabilitas.
Validitas adalah sejauh mana suatu
instrumen melakukan fungsinya atau mengukur apa yang seharusnya diukur. Artinya
sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen dalam melakukan fungsinya.
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana
instrumen dapat dipercaya. Makin cocok dengan sekor sesungguhnya makin
tinggi reliabilitasnya. Reliabilitas juga merupakan derajat kepercayaan dimana
skor penyimpangan individu relatif konsisten terhadap tes sama yang diulangi. Praktikabilitas
adalah aspek kemudahan pemakaian dari suatu instrument, baik dilihat dari aspek
ekonomi,ketersediaan waktu, serta pemanfaatan hasilnya. Adapun prosedur/tahapan
penyusunan dari ketiga instrument penelitian intinya sama. Yaitu adalah:
1) Menetapkan objek
yang akan diamati
2) Merumuskan
definisi operasional mengenai objek yang akan diamati
3) Memuat deskripsi
tentang objek yang akan diamati
4) Memuat dan
menyusun butir – butir pernyataan singkat tentang indicator dari objek yang
diamati
5) Melakukan uji
coba
6) Menyempurnakan
dan menata butir – butir pernyataan ke dalam satu kesatuan yang utuh dan
sistematis.
DAFTAR PUSTAKA
Dasar – dasar Metodologi Penelitian,
JL. Surabaya 6 Malang: lembaga penelitian IKIP MALANG, 1997.
WWW.google.com, Pengembangan
Instrument Penelitian.
Penerapan Model Pembelajaran
Quantum Teaching dengan Penilaian Portofolio untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah dalam Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi pada Siswa
Kelas VII A MTs Negeri Batu Tahun Ajaran 2009/2010, Sofyan Abu
Najib, UNISMA: Skripsi 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar