Social Icons

Sabtu, 26 April 2014

Instrumentasi dan Pengembangannya Dalam Penelitian Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
         Instrumen memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan mutu suatu penelitian, karena validitas atau kesahihan data yang diperoleh akan sangat ditentukan oleh kualitas atau validitas instrumen yang digunakan, di samping prosedur pengumpulan data yang ditempuh. Hal ini mudah dipahami karena instrumen berfungsi mengungkapkan fakta menjadi data, sehingga jika instrumen yang digunakan mempunyai kualitas yang memadai dalam arti valid dan reliabel maka data yang diperoleh akan sesuai dengan fakta atau keadaan sesungguhnya di lapangan. Sedangkan jika kualitas instrumen yang digunakan tidak baik dalam arti mempunyai validitas dan reliabilitas yang rendah, maka data yang diperoleh juga tidak valid atau tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru. 
         Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang telah tersedia dan dapat pula menggunakan instrumen yang dibuat sendiri. Instrumen yang telah tersedia pada umumnya adalah instrumen yang sudah dianggap baku untuk mengumpulkan data variabel-variabel tertentu.
Dalam rangka memahami pengembangan instrumen penelitian, maka berikut ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang terkait, diantaranya pengertian instrumen, langkah-langkah pengembangan instrumen, validitas dan reliabilitas.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN INSTRUMEN
Instrument penelitian adalah alat – alat yang digunakan untuk memperoleh atau mengumpulkan data dalam rangka memecahkan masalah penelitian atau mencapai tujuan penelitian. Jika data yang diperoleh tidak akurat (valid), maka keputusan yang diambilpun akan tidak tepat.
Instrumen memegang peranan penting dalam menentukan mutu suatu penelitian dan penilaian. Fungsi instrumen adalah mengungkapkan fakta menjadi data. Menurut Arikunto, data merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis, benar tidaknya data tergantung dari baik tidaknya instrumen pengumpulan data.
B.     JENIS - JENIS INSTRUMEN PENELITIAN
Secara garis besar instrument penelitian sosial dan pendidikan terbagi menjadi dua bagian yaitu penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan pada latar yang alami (natural setting), lebih memperhatikan proses daripada hasil semata, dan yang terpenting adalah berusaha memahami makna dari suatu kejadian atau berbagai interaksi dalam situasi yang wajar (Bogdan & Biklen, 1982:27-30).
Oleh karena itu instrument yang digunakan bukanlah kuesioner atau tes, melainkan si peneliti itu sendiri. Pemanfaatan manusia sebagai instrument penelitian dilandasi oleh keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai makna dari suatu peristiwa atau berbagai interaksi sosial. Menurut Lincoln dan Guba (1985) ada tujuh hal yang membuat manusia menjadi instrument yang memiliki kualifikasi baik, yaiti: (1) responsive, (2) adaptif, (3) holistic, (4) memahami konsep yang tak terkatakan, (5) mampu memproses data secara langsung, (6) mampu mengklasifikasi dan meringkas data dengan segera, (7) mampu mengeksplorasi respon yang khusus dan istimewa. Singkatnya semua alat – alat yang digunakan oleh peneliti kualitatif dalam mengumpulkan data adalah sekedar alat bantu, sedangkan instrument utamanya adalah dirinya sendiri.
  Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif adalah penelitian yang datanya berbasis pada angka yang kemudian diuji dengan menggunakan perhitungan statistik. Dalam hal ini penelitian kuantitatif  dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: (1) tes, (2) kuesioner, (3) pedoman observasi. Namun bila dikaji lebih jauh, sebagaimana yang akan ditunjukan pada bahasan mengenai tes, akan lebih tepat kalau instrument penelitian dipilahkan menjadi empat bagian, yaitu: (1) tes, (2) inventori, (3) kuesioner, (4) pedoman observasi.
Pemilahan instrument penelitian menjadi empat dipandang lebih tepat, karena masing – masing jenis instrument memiliki karakteristik yang khas. Dalam tes, khususnya tes objektif, dikenal adanya jawaban benar  dan salah sehingga dapat diberi skor satu dan nol, masing – masing untuk jawaban benar dan salah. Dalam inventori dan kuesioner jarang ada pernyataan/pernyataan yang dapat dinilai secara benar dan salah.
Kuesioner digunakan untuk menjaring data yang bersifat informative factual, sehingga uji validitas butir secara empirik tidak dapat dilakukan. Akibatnya tingkat reliabilitas instrument yang berupa kuesioner tidak dapat diestimasi dengan menggunakan statistik. Sebaliknya, butir – butir pertanyaan – pertanyaan didalam tes dan inventori wajib diuji validitasnya secara empirik. Antara tes dan inventori ada kemungkinan menggunakan cara yang tidak sama.
Pedoman observasi digunakan oleh peneliti untuk mengumpulksn data yang dapat diamati secara nyata, maka pengujian validitas butir pernyataan dalam pedoman observasi tidak dapat dilakukan secara empirik. Begitu pula tingkat reliabilitasnya tidak dapat diestimasi dengan menggunakan pendekatan statistik.
1.      TES SEBAGAI INSTRUMEN PENELITIAN
Dilihat dari aspek yang diukur , tes dibedakan  menjadi dua bagian, yaitu tes non-psikologis dan tes psikologis. Jenis tes psikologis dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu tes psikologis yang mengukur aspek afektif dan tes psikologis yang digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual.
tes psikologis yang dirancang untuk mengukur aspek afektif atau aspek non-intelektual dari tingkah laku umumnya dikenal dengan nama tes kepribadian (personality tests). ”Tes kepribadian” paling banyak digunakan untuk mengukur karakteristik seperti : pernyataan emosional, hubungan interpersonal, motivasi, minat, dan sikap. Tes psikologis jenis inilsh yang dalam bahasan selanjutnya disebut dengan nama inventory 
Tes psikologis yang dimaksudkan untuk mengukur aspek kemampuan intelektual disebut dengan nama tes kemampuan (ability tests). Termasuk dalam kategori tes kemampuan ini adalah tes bakat (aptitude tests) dan tes kemahiran (proficiency tests). Tes prestasi belajar (achievement tests) termasuk dalam kategori kemahiran (Joni, 1984: 30).
Agar tes yang kita buat mampu memenuhi ketiga kriteria itu  secara optimal, maka dalam penyusunannya haruslah mengikuti prosedur dan melalui proses yang benar. Prosedur yang ditempuh dalam menyusun atau mengembangkan tes kemampuan dalam rangka penelitian pada dasarnya adalah sebagai berikut:
(1) Penetapan Aspek yang Diukur
Dalam pengembangan tes hasil belajar ada dua aspek yang mendapat perhatian, yaitu:
1.      Materi pelajaran
2.      Aspek kepribadian (ranah kognitif, afektif, dan/ psikomotor) yang diukur.
(2) Pendeskripsian Aspek yang Diukur
Pendeskripsian aspek yang diukur tidak lain dari penjabaran lebih lanjut dari definisi operasional variable yang telah dilakukan pada langkah pertama. Untuk penyusunan tes, deskripsi variable ini dituangkan dalam bentuk table spesifikasi atau lebih dikenal dengan nama kisi-kisi tes. Di dalamnya termuat materi pelajaran dan aspek kepribadian yang diukur, bentuk tes dan tipe soal yang digunakan, serta jumlah soal.
(3) Pemilihan Bentuk Tes
Pemilihan bentuk tes di sini ialah tipe soal dilihat dari caranya peserta tes memberikan jawaban dan cara peneliti memberikan skor. Jika peserta tes memiliki kebebasan yang luas dalam menjawab soal-soal tes, maka dikatakan bahwa tes itu adalah tes subjektif (free answer tests). Sebaliknya, jika peserta tes tidak memiliki kebebasan dalam menjawab soal-soal tes, bahkan hanya tinggal memilih dari jawaban yang telah disediakan, maka tes itu disebut tes objektif (restricted answer tests).
Dilihat dari caranya peneliti memberikan skor, tes juga dibedakan menjadi tes subjektif dan tes objektif. Dinamakan tes subjektif apabila pada waktu member skor, peneliti harus memberikan pertimbangan terlebih dahulu terhadap jawaban yang diberikan oleh peserta tes. Setelah itu, barulah ia dapat memberikan skor. Sebaliknya, suatu tes dinamakan tes objektif manakal peneliti dapat memberikan skor secara langsung tanpa harus mempertimbangkan jawaban yang diberikan oleh peserta tes. Hal ini dimungkinkan karena jawaban terhadap tes objektif, terutama model pilihan, sudah bersifat pasti. Singkatnya, perbedaan tes subjektif dan tes objektif dapat dilihat dari dua aspek: (1) dari kebebasan peserta tes dalam menjawab soal-soal tes dan (2) dari caranya memberikan skor.
(4) Penulisan Butir Soal
(5) Perakitan Butir Soal
Perakitan butir soal ke dalam suatu tes    didasarkan atas bentuk dan tipe soal yang dibuat, bukan disusun menurut urutan materi pelajaran. Buti-butir soal tes objektif dikelompokkan tersendiri, demikian juga halnya dengan soal-soal tes subjektif.
(6) Pelaksanaan Uji Coba Tes
Kegiatan uji coba instrumen ini dimaksudkan untuk mengetahui: (1) validitas butir soal, (2) tingkat reliabilitas tes, (3) ketepatan petunjuk dan kejelasan bahasa yang digunakan, dan (4) jumlah waktu riil yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tes.
(7) analisi hasil uji coba
Analisi terhadap hasil uji coba tes dimaksudkan untuk mengetahui secara empirik validitas butir soal dan tingkat reliabilitas tes. Ukuran yang digunakan untuk menilai validitas butir soal adalah indeks kesukaran soal (P) dan indeks daya beda soal (D).
(8) Seleksi, Penyempurnaan, dan Penataan Butir Soal
Seleksi atau penyempurnaan butir soal diperlukan karena biasanya selalu ada soal yang tidak memenuhi syarat dilihat dari kriteria tingkat kesukaran dan daya beda soal. Oleh sebab itu, jumlah soal yang ditulis untuk keperluan uji coba selalu harus lebih banyak dari jumlah yang diperlukan. Lazimnya soal yang tergolong mudah sebagian ditaruh di bagian paling awal dari tes, sedangkan yang sebagian lagi ditempatkan di bagian paling akhir.
(9) Pencetakan Tes
Yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini antara lain format, jenis dan model huruf yang digunakan. Format tes berkenaan dengan tata letak (lay out) dari soal-soal di dalam tes, sedangkan jenis dan model huruf erat hubungannya dengan besar dan kejelasan huruf yang digunakan. Semuanya ini perlu diperhatikan agar penampilan tes menjadi rapi, “indah”, dan jelas sehingga menarik untuk dikerjakan.
Jika kesembilan tahap dalam penyusunan tes tadi dapat dikerjakan dengan seksama, kiranya peluang untuk mmemperoleh tes yang valid dan reliable akan lebih besar.
2.      PENYUSUNAN INVENTORI
Inventori adalah instrument yang digunakan untuk mengukur karakteristik psikologis tertentu dari individu. Karena itu, inventori sering disinonimkan dengan tes kepribadian. Perbedaan yang Nampak jelas antara inventori dengan tes (kemampuan) ialah dalam hal sifat jawaban yang diberikan. Dalam inventori, jawaban yang diberikan merupakan suatu keadaan yang sewajarnya, suasana keseharian yang dirasakan dan dialami, atau sesuatu yang diharapkan. Dengan kata lain, dalam menjawab pernyataan/pertanyaaan di dalam inventori, orang tidak perlu belajar terlebih dahulu. Cukuplah kiranya jika ia dapat membaca dan/atau memahami hal-hal yang ditanyakan kepadanya. Karakteristik inventori yang demikian itu menuntut tata cara penyusunan yang berbeda dengan tes. Adapun prosedur yang dimaksud adalah:
(1)   Penetapan Konstruk yang Diukur
Konstruk menunjuk pada hal-hal yang pada dasarnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti persepsi, minat, motivasi, sikap dan yang sejenisnya. Misalnya, variable yang akan diteliti adalah “ sikap nasionalisme siswa SMA”. Dari variable penelitian ini dapat diidentifikasi bahwa konstruk yang akan diukur adalah sikap.
(2)   Perumusan Definisi Operasional.
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat – sifat hal yang didefinisikan sehingga dapat diamati. Adapun cara yang dapat ditempuh untuk menyusun definisi operasional variable jenis ini dikelompokan menjadi tiga bagian yaitu adalah:
a)   Yang menekankan pada kegiatan apa yang dilakukan agar konstruk yang didefinisikan itu terjadi.
b)   Yang memberikan aksentuasi kepada bagaimana kegiatan itu dilakukan, dan
c)   Yang menitikberatkan pada sifat – sifat statis dari konstruk yang didefinisikan.(Suryabrata, 1983:84)
(3)   Pendeskripsian konstruk
Ketika langkah kita sudah sampai pada kegiatan merumuskan definisi operasional konstruk (variable) yang akan diukur, seringkali belum dapat secara langsung disusun alat ukurnya. Definisi operasional itu belum mampu menunjukan scara rinci mengenai isi konstruk (variable) yang hendak diukur, sehingga diperlukan adanya deskripsi atas konstruk (variable) tersebut. Untuk mempermudah penyusunan pernyataan dalam inventori, kebanyakan peneliti menuangkan deskripsi konstruk (variable) itu dalam bentuk matrik. Contoh dari deskripsi konstruk (variabel) yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Tabel deskripsi variable sikap nasionalisme
Konstruk
Variable
Sub - variabel
Indikator
Sikap
Sikap nasionalisme siswa SMA
Cinta dan bangga sebagai bangsa indonesia
v  Gemar menggunakan bahasa indonesia
v  Suka produksi dalam negeri
v  Mengembangkan kebudayaan nasional
Rela berkorban untuk kepentingan nasional
v  Mengutamakan kepentingan umum/bangsa
v  Besedia mengikuti WAMIL
v  Mau bekerja diseluruh wilayah indonesia
Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa
v  Toleran
v  Bersedia menerima perbedaan SARA
v  Bersedia ikut dalam program pertukaran pemuda

(4)   Menyusun butir – butir pernyataan
Setelah deskripsi variable dapat dirampungkan, maka penulisan butir – butir pernyataan (items) dalam inventori akan dapat dilakukan secara lebih mudah. Kegiatan menulis pernyataan – pernyataan ini merupakan langkah yang kritis, karena dari pernyataan – pernyataan inilah akan dihasilkan data yang diperlukan. Kualitas penyataan yang dihasilkan tidak hanya ditentukan oleh penguasaan pengetahuan yang bersifat teoritis, tetapi harus didukung oleh latihan yang terarah, pengalaman yang cukup, kreatifitas dan kesungguhan, disamping faktor kiat yang diimiliki oleh masing – masing peneliti.
(5)   Pelaksanaan uji coba
Kegiatan uji coba instrument dalam proses penyusunan inventori mempunyai maksud yang sama dengan pelaksanaan uji coba tes. Bedanya dalam cara atau tekhnik yang digunakan untuk menguji validitas butir pernyataan dan mengestimasi tingkat reliabilitas instrument. Hal ini disebabkan oleh pemberian skor yang bersifat bergradasi.
Seperti halnya tes, subjek uji coba inventori harus memiliki karakteristik yang sama atau identik dengan subjek penelitian. Mengenai jumlah subjek yang diperlukan untuk keperluan uji coba ini berlaku rumus umum yang menyatakan bahwa semakin banyak subjek akan semakin baik. Jika subjek penelitian terbatas, sebaiknya jumlah subjek uji coba inventori tidak kurang dari 30.
(6)   Analisi hasil uji coba
Dalam inventori, jawaban responden tidak dapat dinilai benar atau salah, melainkan bergradasi. Oleh sebab itu, validitas butir pernyataan hanya didasarkan atas indeks daya beda soal. Sedangkan perhitungan indeks daya beda soal ini dapat menggunakan tekhnik analisis korelasi atau uji beda nilai rata – rata. Selanjutnya, estimasi tingkat reliabilitas instrument menggunakan rumus penghitungan koefisien Alpha dan Kronbach.
(7)    Seleksi, penyempurnaan, dan penataan butir pernyataan
Jarang sekali semua butir pernyataan dalam suatu inventori dinyatakan valid setelah melalui proses uji coba. Pengalaman menunjukan bahwa selalu ada butir -  butir pernyataan yang dinyatakan kurang atau tidak valid. Butir pernyataan yang tidak valid perlu diganti, sedangkan yang kurang valid masih dapat dipakai setelah disempurnakan, setelah itu barulah dilakukan penataan butir pernyataan.
Ada satu hal yang  perlu ditambahkan dalam penyusunan inventori, yaitu kata pengantar. Lazimnya kata pengantar berisi penjelasan tentang maksud dan tujuan dilaksanakannya penelitian. Hal ini penting, untuk menghilangkan ketidakpastian, kecurigaan, dan kehawatiran dalam diri responden, sehingga mereka akan bersedia memberikan jawaban sebagaimana yang diharapkan. Etika penelitian sosial juga menyarankan agar maksud dan tujuan penelitian betul – betul jelas bagi responden sehingga asas informed consent terpenuhi (Smith, 1981:15). Rekomendasi dari instansi yang berwenang (misalnya pemerintah daerah, kanwil depdikbud) dapat dicantumkan sebagai kelengkapan isi kata pengantar. Selain itu jaminan akan kerahasiaan pribadi dan informasi yang diberikan responden penting juga diutarakan pada bagian pengantar. Bagian akhir biasanya berisi ucapan terimakasih atas kesediaan responden untuk membantu menyukseskan pelaksanaan penelitian.

3.      KUESIONER SEBAGAI INSTRUMENT PENELITIAN
Kuesioner dari kata question = pertanyaan, adalah suatu daftar yang berisi serangkaian pertanyaan mengenai suatu hal dalam suatu bidang (Koentjaraningrat, 1980:215). Kuesioner banyak digunakan dalam penelitian pendidikan dan penelitian sosial yang menggunakan rancangan survei, karena ada beberapa keuntungan yang diperoleh, yaitu adalah:
a)      Dapat disusun secara teliti dalam situasi yang tenang sehingga pertanyaan – pertanyaan yang terdapat didalamnya dapat mengikuti sistematik dari masalah yang diteliti.
b)      Penggunaan kuesioner memungkinkan peneliti menjaring data dari banyak responden dalam periode waktu yang relative singkat.
Adapun kelemahan dari instrument kuesioner adalah sebagai berikut:
a)   Sulit bagi peneliti untuk menangkap kejadian atau suasana khusus pada waktu data dikumpulkan.
b)   Kurang memberi keleluasaan untuk mengubah susunan pertanyaan agar lebih cocok dengan alam fikiran atau pengetahuan para penjawab.
c)   Penelitian yang hanya menggunakan kuesioner saja tidak dapat menghasilkan temuan yang mendalam dan utuh.
Adapun cara penyelesaian/mengantisipasi kelemahan diatas adalah dengan cara harus mempertimbangkan kesesuaiannya dengan sifat masalah yang digarap, tujuan yang hendak dicapai, jenis variable penelitian, dan karakteristik subjek penelitian.
1.      Penyusunan kuesioner
Prosedur penyusunan kuesioner hampir sama dengan prosedur penyusunan inventori. Bedanya terlihat pada langkah ke lima, yaitu pelaksanaan uji coba instrument. Dalam penyusunan kuesioner, kegiatan uji coba bukanlah untuk menguji validitas butir pertanyaan secara statistik, melainkan untuk mengetahui kejelasan petunjuk pengerjaan, kekomunikatifan bahasa yang digunakan, dan jumlah waktu riil yang dibutuhkan untuk dapat menjawab semua pertanyaan secara baik. Dengan demikian, prosedur yang ditempuh dalam menyusun kuesioner adalah:
(1)   Menetapkan objek yang akan diukur
(2)   Merumuskan definisi operasional
(3)   Membuat deskripsi dari objek yang diukur
(4)   Menyusun butir – butir pertanyaan
(5)   Melakukan uji coba
(6)   Menyempurnakan dan menata butir – butir prtanyaan dalam satu kesatuan secara sistematis.
Dalam menyusun butir – butir pertanyaan kuesioner ada dua hal yang perlu diperhatikan secara seksama, yaitu jenis pertanyaan yang dipergunakan dan tata urutannya didalam kuesioner. Dilihat dari bentuknya , pertanyaan yang dapat digunakan dalam kuesioner dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Pertanyaan terbuka (tak tersetruktur)
2)      Pertanyaan tertutup ( terstruktur)
3)      Dan pertanyaan semi terbuka
Pertanyaan terbuka hampir sama pengertiannya dengan soal tes subjektif, yaitu pertanyaan yang jawabannya bersifat luas dan beragam. Dengan kata lain, responden memiliki keleluasaan yang besar dalam merespon. Dalam pertanyaan tertutup, keleluasaan yang demikian itu tidak dimiliki, bahkan kebebasan yang dimiliki responden sangat terbatas, mengingat jawaban terhadap pertanyaan itu telah tersedia. Responden hanya tinggal memilih satu atau beberapa dari alternative jawaban yang ada.
Pertanyaan terbuka cocok digunakan jika peneliti bermaksud untuk memperoleh informasi sebanyak – banyaknya mengenai objek yang diteliti tanpa struktur yang jelas.
Hal kedua yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kuesioner ialah tentang tata urutan pertanyaan yang terdapat didalamnya. Pertanyaan – pertanyaan tersebut hendaknya tidak disusun secara random, melainkan mengikuti suatu pola tertentu. Adapun pola yang dimaksud dalam hal ini adalah dari pertanyaan yang mudah menuju ke pertanyaan yang sukar, dari pertanyaan yag sederhana ke pertanyaan yang kompleks, dari pertanyaan yang bersifat umum menuju ke pertanyaan yang bersifat khusus.
2.      Penggunaan kuesioner
Dalam penggunaan kuesioner ada langkah – langkah yang harus diambil atau yang perlu dilakukan  yaitu adalah mengadakan diskusi dengan orang lain yang dianggap tahu dan mampu, misalnya sarjana lain atau pejabat, untuk memberikan kritik yang sehat dan saran – saran perbaikan terhadap kuesioner yang telah disusun. Cara lain yang juga dapat ditempuh ialah melakukan usaha menguji cobakan kuesioner yang telah disusun kepada subjek yang memiliki karakteristik yang identik dengan subjek penelitian yang sebenarnya. Suasan yang meliputi wawancara berkuesioner harus bersifat bebas, tanpa ada perasaan khawatir, curiga atau takut sama sekali,. Ini perlu diingat terutama jika berhadapan dengan masyarakat desa, karena masih banyak diantara mereka yang merasa tidak tentram kalau jawabannya yang diberikannya langsung dicatat diatas kertas oleh peneliti.

4.      PENYUSUNAAN PEDOMAN PENGAMATAN
Pedoman pengamatan (observasi) diperlukan terutama jika peneliti menerapkan pengamatan terfokus dalam proses pengumpulan data. Dalam pengamatan terfokus, peneliti memusatkan perhatiannya hanya pada beberapa aspek prilaku atau fenomena yang menjadi objek sasarannya. Misalkan seorang dosen mengadakan penelitian untuk mendskripsikan kemampuan mengajar para guru SMP di kabupaten Malang. Untuk keperluan ini ia menggunakan alat penilaian kemampuan guru (APKG) sebagai pedoman pengamatan. APKG ini telah menjabarkan secara operasional aspek prilaku yang harus diamati. Untuk kemampuan membuka pelajaran, misalnya aspek prilaku yang diamati adalah sebagai berikut ( Turney, 1973; Abimanyu, 1983).
1.      Kemampuan menarik perhatian, dengan deskriptor:
a)      Gaya mengajar yang  bervariasi
b)      Menggunakan alat bantu (media) mengajar
c)      Pola interaksi yang bervariasi
2.      Kemampuan menumbuhkan motivasi belajar, dengan deskriptor:
a)      Bersikaf “hangat” dan antusias
b)      Menimbulkan rasa ingin  tahu
c)      Mengemukakan ide yang bertentangan
d)     Memperhatikan minat siswa

3.      Kemampuan memberi acuan, dengan deskriptor:
a)   Mengemukakan tujuan dan batas tugas
b)   Menyarankan tujuan dan langkah yang dilakukan
c)   Mengingatkan masalah pokok yang akan dibahas
d)  Mengajukan pertanyaan
4.      Kemampuan membuat kaitan, dengan deskriptor:
a)   Membuat kaitan antar aspek
b)   Mengaitkan antara yang sudah diketahui dan yang belum diketahui
c)   Menjelaskan konsep lebih dulu, kemudian diikuti dengan penjelasan materi.
Pedoman pengamatan mempunyai karakteristik yang identik dengan pedoman wawancara. Sementara itu prosedur pengembangan pedoman wawancara tidak berbeda dengan prosedur penyusunan kuesioner. Dalam beberapa hal, kuesioner dapat dipandang sebagai pedoman wawancara dalam wujudnya yang sangat rinci. Dengan demikian prosedur penyusunan pedoman pengamatan pada prinsipnya sama dengan penyusunan kuesioner. Dalam penyusunan kuesioner ada 6 tahapan yaitu adalah:
(1)   Menetapkan objek yang akan diamati
(2)   Merumuskan definisi operasional mengenai objek yang akan diamati
(3)   Memuat deskripsi tentang objek yang akan diamati
(4)   Memuat dan menyusun butir – butir pernyataan singkat tentang indikator dari objek yang diamati
(5)   Melakukan uji coba
(6)   Menyempurnakan dan menata butir – butir pernyataan ke dalam satu kesatuan yang utuh dan sistematis.

C.     KRITERIA INSTRUMEN PENELITIAN YANG BAIK
Ada tiga kriteria pokok yang harus dipenuhi oleh suatu instrument penelitian agar dapat dinyatakan memiliki kualitas yang baik. Kriteria tersebut adalah:  (1) validitas, (2) reliabilitas, (3) praktikabilitas (Gronlund & Linn, 1997:47). Dua kriteria yang disebutkan pertama perlu mendapatkan perhatian yang seksama dalam pengembangan instrument penelitian. Seperti yang dinyatakan oleh Kerlinger (1973:442), “Apabila seorang peneliti tidak mengetahui validitas dan reliabilitas instrument yang digunakannya, maka sedikit keyakinan yang dapat diberikannya kepada data yang diperoleh dan kesimpulan yang diambil dari data tersebut”.
1.   Validitas
Suatu instrument dikatakan telah memiliki validitas (kesahihan/ketepatan) yang baik ‘ jika instrument tersebut benar – benar mengukur apa yang seharusnya hendak diukur”. (Nunnally, 1978:86).
Ketepatan beberapa alat ukur relative mudah ditetapkan, seperti penggaris untuk mengukur panjang dan timbangan untuk mengukur berat. Validitas instrument lebih tepat diartikan sebagai derajat kedekatan hasil pengukuran dengan keadaan yang sebenarnya (kebenaran), bukan masalah sama sekali benar atau seluruhnya salah.
Validitas mengacu pada ketepatan interpretasi yang dibuat dari data yang dihasilkan oleh suatu instrument dalam hubungannya dengan suatu tujuan tertentu. Sebagai contoh, sebuah tes yang dipakai untuk keperluan seleksi mahasiswa baru mungkin valid untuk tujuan tersebut, namun kurang atau tidak valid untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap bahan pelajaran di SMTA.
Berkenaan dengan hal tersebut, validitas instrument dibedakan menjadi tiga bagian besar yang dikenal dengan nama validitas isi, validitas kriteria, dan validitas konstruk(Gronlund & linn, 1990; Anastasi, 1988; Kerlinger, 1973)
(1)   Validitas isi yang sering juga disebut dengan validitas kurikuler, validitas intrinsik atau validitas kerevrentatipan, diartikan sebagai derajat keterwakilan aspek kemampuan yang hendak diukur di dalam butir – butir instrument. Untuk mengetahui validitas isi suatu instrument ialah dengan jalan membandingkan butir – butir instrument dengan spesifikasi (kisi – kisi) instrument yang merupakan deskripsi dari aspek yang hendak diukur.
(2)   Validitas kriteria menunjuk pada seberapa baik suatu instrument mampu memprediksi penampilan di masa datang atau mengestimasi penampilan di masa sekarang. Misalnya, untuk mengetahui validitas prediktif dari tes masuk perguruan tinggi digunakan kriteria prestasi belajar yang dicapai oleh mahasiswa. Dengan demikian, prosedur yang ditempuh untuk mengetahui validitas kriteria ini ialah dengan jalan membandingkan hasil pengukuran dari instrument yang mau diuji validitasnya dengan hasil pengukuran instrumen lain pada tanggal yang kemudian (untuk validitas prediksi) atau dengan hasil pengukuran instrument lain pada masa sekarang untuk validitas konkuren).
(3)   Validitas konstruk merupakan hal yang paling sulit untuk diketahui, karena hal ini menunjuk pada seberapa jauh suatu instrument mampu mengukur secara akurat hal – hal yang berdimensi psikologis. Untuk keperluan ini biasanya digunakan analisis faktor, suatu jenis teknik analisis statistik yang tergolong dalam statistik lanjut.

2. Reliabilitas
Diartikan sebagai keajegan (consistency) hasil dari instrument tersebut. Ini berarti, suatu instrument dikatakan memiliki keterandalan sempurna, manakala hasil pengukuran berkali-kali terhadap subjek yang sama selalu menunjukkan hasil atau skor yang sama.
Estimasi reliabilitas instrument dilandaskan pada teori salah ukur (measurement error) ini. Semakin kecil salah ukur  semakin kecil pula perbedaan skor riil  dengan skor sebenarnya, sehingga koefisien reabilitasnya menjadi semakin tinggi.
Ada empat metode yang dapat dipakai untuk mengestimasi tingkat reliabilitas instrument, yaitu : metode tes ulang (test-retest method), (2) metode bentuk setara (equivalent form method), (3) metode belah dua (split half method), dan (4) metode konsistensi internal (internal consistency method).
3. Praktikabilitas      
Syarat ketiga yang harus dipenuhi oleh instrument untuk dapat dikatakan baik ialah kepraktisan atau keterpakaian (usability). Instrumen yang baik pertama-tama harus ekonomis baik ditinjau dari sudut uang maupun waktu. Kedua, ia harus mudah dilaksanakan dan diberi skor, dan yang terakhir, instrument itu harus mampu menyediakan hasil yang dapat diinterpretasikan secara akurat serta dapat digunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan (Groulund & Linn, 1990)

BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Instrumen adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Data yang terkumpul dengan menggunakan instrumen tertentu akan dideskripsikan dan dilampirkan atau digunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam suatu penelitian.
Untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, kita dapat menggunakan instrumen yang telah tersedia dan dapat pula menggunakan instrumen yang dibuat sendiri. Instrumen yang telah tersedia pada umumnya adalah instrumen yang sudah dianggap baku untuk mengumpulkan data variabel-variabel tertentu. Instrument penelitian memiliki kualitas yang baik bila memenuhi tiga dari criteria pokok instrument yaitu adalah: validitas, reliabilitas, dan praktikabilitas.
Validitas adalah sejauh mana suatu instrumen melakukan fungsinya atau mengukur apa yang seharusnya diukur. Artinya sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen dalam melakukan fungsinya.
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana instrumen dapat dipercaya. Makin cocok dengan sekor sesungguhnya makin tinggi reliabilitasnya. Reliabilitas juga merupakan derajat kepercayaan dimana skor penyimpangan individu relatif konsisten terhadap tes sama yang diulangi. Praktikabilitas adalah aspek kemudahan pemakaian dari suatu instrument, baik dilihat dari aspek ekonomi,ketersediaan waktu, serta pemanfaatan hasilnya. Adapun prosedur/tahapan penyusunan dari ketiga instrument penelitian intinya sama. Yaitu adalah:
1)   Menetapkan objek yang akan diamati
2)   Merumuskan definisi operasional mengenai objek yang akan diamati
3)   Memuat deskripsi tentang objek yang akan diamati
4)   Memuat dan menyusun butir – butir pernyataan singkat tentang indicator dari objek yang diamati
5)   Melakukan uji coba
6)   Menyempurnakan dan menata butir – butir pernyataan ke dalam satu kesatuan yang utuh dan sistematis.

DAFTAR PUSTAKA

Dasar – dasar Metodologi Penelitian, JL. Surabaya 6 Malang: lembaga penelitian IKIP MALANG, 1997.
WWW.google.com,  Pengembangan Instrument Penelitian.

Penerapan  Model  Pembelajaran Quantum Teaching dengan Penilaian Portofolio untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dalam Pokok Bahasan Persegi Panjang dan Persegi pada Siswa Kelas VII A MTs Negeri Batu Tahun Ajaran 2009/2010, Sofyan Abu Najib, UNISMA:  Skripsi 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates