Social Icons

Rabu, 19 Maret 2014

Hukum Taklifi

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
     Dalam islam terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum taklifi. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Begitu juga terdapat macam-macam hukum taklifi. Makalah ini akan menjelaskan pengertian dari macam-macam hukum tersebut.
B.       Rumusan masalah
1.         Apa pengertian Hukum Taklifi?
2.         Bagaimana pembagaian Hukum Taklifi?
C.       Tujuan penulisan
1.         Menjelaskan pengertian Hukum Taklifi.
2.         Menjelaskan pembagaian Hukum Taklifi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
1. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
وَاَقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَآتُوا الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi Rahmat." (QS. An-Nur : 56)
2. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
وَلاَ تَأْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil." (QS. Al-Baqarah : 188)
3. Contoh firman Allah yang bersifat memilih:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al-Baqarah : 187)

Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:
1. Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :56

وَاَقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَآتُوا الزَّكَوةَ....
artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli para Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.

2. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Allah SWT berfirman:
يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْآ اِذَا تَدَا يَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):
... فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ....
Artinya:
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengannadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.

3. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya firman Allah dalam surat Al-An'am : 151:
... وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ .
Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram.

4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut jugakarahahKarahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:
اَبْضُ اْلحَلَالِ عِنْدَاللَّهِ الطَّلَاقُ
Artinya:
"perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
khithab hadits ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah, sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.

5. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2
... وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا....
Artinya:
"Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.

B. Pembagian Hukum Taklifi
1. Wajib
Para ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi, antara lain:
a.     Dilihat dari segi waktu.
Ø  Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
Ø  Wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh, Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya') harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
b.    Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.
Ø  Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara' dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
Ø  Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara' ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat untuk menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di luar hudud dan qishash) yang diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam penentuan hukuman ini, para hakim harus berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat adil.
c.     Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.
Ø  Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
Ø  Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak.
            Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di laut atau di sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang yang menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka waib al-kifa'i  yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai berenang tersebut.
d.    Dilihat dari segi kandungan perintah.
Ø  Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Shalat dan puasa dikerjakan yang pada dirinya adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
Ø  Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah:89, mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.

2. Mandub
Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a.     Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
     Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu'), seperti shalat sunah dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.
b.    Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
     Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.
c.     Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
     Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka disebut sunah Za'idah.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah, Tahrim.
2.      Pembagian Hukum Taklifi
a.       Wajib
1)   Dilihat dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-mu’aqqat.
2)   Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan wajib ghairu al-muhaddad.
3)   Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-‘aini dan wajib al-kifa’i.
4)   Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-mu’ayyandanwajib al-mukhayyar.
b.      Mandub
1)    Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangatdianjurkan).
2)    Sunahghairu al-Mu’akkadah (sunahbiasa).



DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat. 2010. IlmuUshulFiqihcet.IV. Bandung: CV PustakaSetia.

Haroen, Nasrun. 1996. UshulFiqih 1. Jakarta: Logos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates