BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam islam terdapat berbagai macam hukum,
diantaranya adalah hukum taklifi. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut
suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat , atau memberikan
pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Begitu juga terdapat
macam-macam hukum taklifi. Makalah ini akan menjelaskan pengertian dari
macam-macam hukum tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Hukum Taklifi?
2. Bagaimana pembagaian Hukum Taklifi?
C. Tujuan penulisan
1. Menjelaskan pengertian Hukum Taklifi.
2. Menjelaskan pembagaian Hukum Taklifi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Taklifi
Hukum
Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
1. Contoh
firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
وَاَقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَآتُوا الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ
لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
"Dan
dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi
Rahmat." (QS.
An-Nur : 56)
2. Contoh
firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
وَلاَ تَأْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
"Janganlah
kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil." (QS. Al-Baqarah : 188)
3. Contoh
firman Allah yang bersifat memilih:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ اْلخَيْطُ
اْلاَبْيَضُ مِنَ اْلخَيْطِ اْلاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ
"Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar." (QS. Al-Baqarah
: 187)
Macam-macam
hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:
1. Ijab
Yaitu
tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam
surat An-Nur :56
وَاَقِيْمُوا الصَّلَوةَ وَآتُوا الزَّكَوةَ....
artinya:
"Dan
dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam
ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli
para Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewajiban
mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan
dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub,
sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar
zakat), disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab menurut
ulama Ushul Fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan)
Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat
dari khithab tersebut dan wajib adalah
perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
2. Nadb
Yaitu
tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang
dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari
tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah :
282. Allah SWT berfirman:
يَآ
اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْآ اِذَا تَدَا يَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَى اَجَلٍ
مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ....
Artinya:
"Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka
tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub),
tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):
... فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ
اَمَنَتَهُ....
Artinya:
"Akan
tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam
ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini
adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai,
maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini
disebut dengannadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk
dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut mandub, dan
akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.
3. Tahrim
Yaitu
tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.
Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang
dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya firman Allah dalam
surat Al-An'am : 151:
... وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ .
Artinya:
"...Jangan
kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari
tuntutan ini disebut harman, dan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram.
4. Karahah
Yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat
dari tuntutan seperti ini disebut jugakarahah. Karahah ini
merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:
اَبْضُ اْلحَلَالِ عِنْدَاللَّهِ الطَّلَاقُ
Artinya:
"perbuatan
halal yang paling dibenci Allah adalah talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
khithab hadits ini disebut karahah dan akibat
dari khithab ini disebut juga dengan karahah,
sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.
5. Ibahah
Yaitu khithab Allah
yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat
secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga
dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2
... وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا....
Artinya:
"Apabila
kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat
ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang
mengandung ibahah (boleh), karena ada indikasi yang
memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini
disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini juga
disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu
disebut mubah.
B. Pembagian
Hukum Taklifi
1. Wajib
Para
ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi
dari berbagai segi, antara lain:
a. Dilihat
dari segi waktu.
Ø Wajib
al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan
oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban
membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar
sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia
melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
Ø Wajib
al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada
waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh,
Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya') harus dikerjakan pada waktunya, demikian
juga puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri,
sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
b. Dilihat
dari segi ukuran yang diwajibkan.
Ø Wajib
al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh
syara' dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan
jumlah raka'at dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah,
atau dikurangi.
Ø Wajib
ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara'
ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat
untuk menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak
pidana di luar hudud dan qishash) yang diserahkan
kepada para qadhi (hakim). Dalam penentuan hukuman ini, para
hakim harus berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam mensyari'atkan
suatu hukuman dan bersifat adil.
c. Dilihat
dari segi orang yang dibebani kewajiban.
Ø Wajib
al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi
orang mukallaf. Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap
orang mukallaf.
Ø Wajib
al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi
apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah
terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk
melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr
ma'ruf nahi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul bersama orang
banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah
menjadi wajib al-'aini apabila yang bertanggung jawab dalam
kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di
laut atau di sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang
yang menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang
yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang,
maka waib al-kifa'i yang dikenakan kepada sejumlah orang
itu berubah menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai
berenang tersebut.
d. Dilihat
dari segi kandungan perintah.
Ø Wajib
al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang
diperintahkan, seperti sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Shalat
dan puasa dikerjakan yang pada dirinya adalah wajib, dan harga barang yang
dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
Ø Wajib
al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang
mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah:89, mengemukakan bahwa
kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin, memberi pakaian
kepada mereka, atau memerdekakan budak.
2. Mandub
Para
ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a. Sunnah
al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan.
Di antaranya adalah shalat-shalat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat
lima waktu (shalat fardu'), seperti shalat sunah dua raka'at sebelum shubuh,
dua raka'at sebelum dan setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur waktu berwudhu',
adzan, berjama'ah.
b. Sunnah
ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila
ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti
bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan Kamis.
Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh disyari'atkan, tetapi tidak
senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti ini disebut juga dengan
istilah mushtahab atau nafilah.
c. Sunnah
al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah
SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan
tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah
berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai manusia biasa, seperti
cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini
dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah
SAW, maka disebut sunah Za'idah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Hukum
Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya.
Macam-macam
hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah,
Tahrim.
2. Pembagian
Hukum Taklifi
a. Wajib
1) Dilihat
dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib
al-mu’aqqat.
2) Dilihat
dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan wajib
ghairu al-muhaddad.
3) Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban,
yaitu wajib al-‘aini dan wajib al-kifa’i.
4) Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-mu’ayyandanwajib
al-mukhayyar.
b. Mandub
1) Sunah
al-Mu’akkadah (sunah yang sangatdianjurkan).
2) Sunahghairu
al-Mu’akkadah (sunahbiasa).
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rahmat. 2010.
IlmuUshulFiqihcet.IV. Bandung: CV PustakaSetia.
Haroen,
Nasrun. 1996. UshulFiqih 1. Jakarta: Logos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar