BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latat
Belakang
Maslahah
adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk Hamba-hamba Nya, baik
berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa / diri mereka, pemeliharaan
akal budi mereka, maupun pemeliharaan harta kekayaan mereka.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
Maslahah
2.
Macam – Macam
Maslahah
3.
Kehujjahan
Maslahah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mashlahah
Secara etimologi, Mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu
pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat beberapa
definisi Mashlahah yang dikemukakan
ulama ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama.
Imam
Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah mursalah pada dasarnya ialah meraih
manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara
tersebut, lanjut Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Imam Al-Syathibi mengaktakan bahwa kemaslahatan tersebut
tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat, karena
kedua kemaslahatan tersebut bertujuan
untuk memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk kedalam konsep Mashlahah. Dengan demikian, menurut
Al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai hamba Allah harus bertujuan untuk
kemaslahatan Akhirat.
B.
Macam
– macam Mashlahah
Para
ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari
beberapa segi.
Dilihat
dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh
membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1. Maslahah
al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu 1.
memelihara agama, 2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara
keturunan, dan 5. memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan
al-mashalih al-khamsah.
2. Maslahah
al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam
bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi
orang yang sedang musafir. Dalam bidang Mu’amalah dibolehkan berburu binatang
dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam
pertanian (Muzara’ah) dan perkebunan ( musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah
untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas.
3. Maslahah
al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan
yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk
memakan yang bergizi, berpakaian bagus-bagus, melakukan amalan sunat sebagai
amalan tambahan dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Dilihat
dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
a. Maslahah
al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya,
para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat,
karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b. Maslahah
al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang (maqfud). Pentingya pembagian kedua kemaslahatan ini
berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara
kemaslhatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi, dalam pertentangan
kedua kemaslhatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada
kemaslahatan pribadi.
Dilihat
dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi,
guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1) Maslahah
al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir
zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan
haji.
2) Maslahah
al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan
tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Seperti dalam masalah makanan yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Dilihat
dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
a. Maslahah
al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya
dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
Misalnya hukuman atas orang meminum-minuman keras dalam Hadits Rasulullah saw.
Dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan alat
pemukul yang digunakan Rasulullah saw
ketika hendak melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada
Hadits yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasulullah saw adalah
sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (H.R Ahmad ibn Hanbal dan Al-Baihaqi) dan
adakalanya dengan pelepah pohon kurma sebanyak 40 kali (H.R. Al-Bukhari dan
Muslim).
b. Maslahah
al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan
dengan ketentuan syara’.
c. Maslahah
al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan
tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.
C.
Kehujjahan
Mashlahah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan
bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum Islam. Kemaslhatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga
sepakat bahwa mashlahah al-mulghab tidak dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum islam, demikian juga dengan maslahah al-gharibah, karena tidak
ditemukan dalam parktik syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan
syartnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyah menerima Maslahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum ; dengan syarat sifat
kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan
itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’.
Ulama malikiyyah dan Hanbillah menerima
maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap
sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka
mashlahan al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari
nash yang rinci seperti berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan
bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti
(qath’i), sekalipun dalam menerapkannya bisa bersifat zhanni.
Untuk bisa menjadikan mashlahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan
Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1. Kemaslahatan
itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang
didukung nash secara umum.
2. Kemaslahatan
itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat
dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3. Kemaslahatan
itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau
kelompok kecil tertentu.
Ada
beberapaa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat
dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1. Mashlahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2. Mashlahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3. Mashlahah
itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang dharûrî, baik menyangkut
kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu
berlaku sama untuk semua orang.
Alasan
Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum, antara lain adalah:
1. Hasil
induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَارَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad),
kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-Anbiyâ’, 21: 107)”
Menurut
Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam
rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia.
2. Kemaslahatan
manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan
mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja,
akan membawa kesulitan.
3. Jumhur
Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti,
Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn Khathab, sebagai salah
satu kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada
satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara agar tidak terjadi
perbedaan bacaan Al-Qur’an itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa maslahah adalah mengambil manfaat dan
menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Tujuan syara’
yang harus dipelihara tersebut menurut Al-Ghazali ada 5 yaitu : memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
B.
Saran
Mungkin hanya ini yang dapat kami
sampaikan, meskipun penulisannya kurang sempurna, minimal kami telah dapat
menyelesaikan makalah ini.karena kami manusia yang tepatnya tak luput dari
kesalahan dan kami juga butuh saran dan kritikan agar bisa menjadi motivasi
untuk kedepannya bagi kami.
DAFTAR
PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Haji,
Ushul Fiqh, cet.1. Logos, Jakarta 1996
Asnawi, Dr.
Perbandingan Ushul Fiqh, cet.1. Amzah, Jakarta 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar