Social Icons

Selasa, 18 Maret 2014

Mashlahah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latat Belakang
Maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk Hamba-hamba Nya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa / diri mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun pemeliharaan harta kekayaan mereka.
B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Maslahah
2.      Macam – Macam Maslahah
3.      Kehujjahan Maslahah 


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, Mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi Mashlahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-ghazali mena’rifkan bahwa maslahah mursalah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Imam Al-Syathibi mengaktakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat, karena kedua kemaslahatan  tersebut bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk kedalam konsep Mashlahah. Dengan demikian, menurut Al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan Akhirat.



B.     Macam – macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.      Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu 1. memelihara agama, 2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara keturunan, dan 5. memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah.
2.      Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Dalam bidang Mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan makanan yang baik-baik, dibolehkan melakukan jual beli pesanan (bay’ al-salam), kerjasama dalam pertanian (Muzara’ah) dan perkebunan ( musaqqah). Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih al-khamsah diatas.
3.      Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian bagus-bagus, melakukan amalan sunat sebagai amalan tambahan dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
a.       Maslahah al-‘Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b.      Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud). Pentingya pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan apabila antara kemaslhatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi, dalam pertentangan kedua kemaslhatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi.
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1)      Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
2)      Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.


Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara’ terbagi kepada:
a.       Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya hukuman atas orang meminum-minuman keras dalam Hadits Rasulullah saw. Dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul  yang digunakan Rasulullah saw ketika hendak melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras. Ada Hadits yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasulullah saw adalah sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (H.R Ahmad ibn Hanbal dan Al-Baihaqi) dan adakalanya dengan pelepah pohon kurma sebanyak 40 kali (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
b.      Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’.
c.       Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.

C.    Kehujjahan Mashlahah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa maslahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Kemaslhatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulghab tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum islam, demikian juga dengan maslahah al-gharibah, karena tidak ditemukan dalam parktik syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syartnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyah menerima Maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum ; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukung oleh nash atau ijma’.
Ulama malikiyyah dan Hanbillah menerima maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahan al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash yang rinci seperti berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam menerapkannya bisa bersifat zhanni.
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.      Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.      Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.      Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ada beberapaa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.      Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2.      Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3.      Mashlahah itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang dharûrî, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.      Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَارَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-Anbiyâ’, 21: 107)”
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia.
2.      Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.      Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti, Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn Khathab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara agar tidak terjadi perbedaan bacaan Al-Qur’an itu sendiri.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’. Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut menurut Al-Ghazali ada 5 yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

B.     Saran
Mungkin hanya ini yang dapat kami sampaikan, meskipun penulisannya kurang sempurna, minimal kami telah dapat menyelesaikan makalah ini.karena kami manusia yang tepatnya tak luput dari kesalahan dan kami juga butuh saran dan kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk kedepannya bagi kami.


DAFTAR PUSTAKA
Haroen, Nasrun, Haji, Ushul Fiqh, cet.1. Logos, Jakarta 1996

Asnawi, Dr. Perbandingan Ushul Fiqh, cet.1. Amzah, Jakarta 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates