Social Icons

Selasa, 18 Maret 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mana diketahui, pada masa rasullulah, sumber hukum islama dalah alquran dan sunnah. Namun demikian , ijtihad, pada kenyataannya telah tumbuh sejak masa-masa awal islam, yakni pada zaman nabi muhammad, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in, serta masa-masa generasi selanjutnya hingga kini dan yang akan datang.
Banyak riwayat yang menjelaskan betapa rasullulah memberikan wewenang kepada para sahabat beliau untuk melakukan ijtihad. Salah satu yang paling sering diungkap kan dalam kitab-kitab ushul fiqih ialah kisah pengutusan mu’az bin jabal keyaman. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa rasullulah memuji mu’az ketika ia menjelaskan metode ijtihad, dimana sumber hukum secara berturut-turut ialah alquran, sunnah, danar-ra’y (penalaran hukum). Dalam hal ini ia berkata: ”ajtahidra’yi” (saya ber ijtihad menggunakan nalar saya).
Wewenang untuk ber ijtihad yang diberikan rasulullah kepada sahabat itu, ternyata belakangan sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul setelah wafatnya beliau. Akan tetapi, pada masa rasulullah, ijtihad yang dilakukan para sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk mendapat pengesahan, ataupun mendapat koreksi dari rasulullah, jika ternyata hasil ijtihad mereka keliru.
Setelah rasulullah wafat, sejalan dengan perluasan wilayah islam dan banyak pemeluk islam yang berlatar belakang budaya dan kebiasaan yang beragam, para sahabat banyak menemukan kasus-kasus hukum yang sama sekali tidak disebutkan ketentuan hukumnya di dalam alquran maupun sunnah. Kenyataan ini disikapi parasahabat untuk menerapkan pengalaman ijtihad yang mereka praktikkan pada masa rasulullah yaitu dengan menggunakan ra’y.metode yang di tempuh dalam penggunaan ra’yiniialah, meneliti persamaan ‘illah kasus-kasus yang mereka hadapi dengan kasus-kasus yang terdapat ketentuan hukumnya dalam alquran dan sunnah. Berdasarkan persamaan ‘illah itu kemudian menerapkan hukum yang sama. Metode ini belakangan dikenal dengan istilah al-qiyas. Apabila metode ini tidak dapat diterapkan karena mereka tidak menemukan kesamaan kasus yang mereka hadapi dengan yang terdapat dalam nashsh alquran dan sunnah, maka mereka menggunakan metode mashlahah dalam menetapkan hukum.
B. Rumusan Masalah
1.pengertian ijtihad
2.dasar hokum ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hokum syarat dari dalil-dalilnya. Ijtihad menurut bahasa adalah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum sari’at.
Adapun kata ijtihad secara terminology, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama, yang pada umumnya menunjukkan pengertian yang hampir sama, dan antara satu definisi dengan definisilainny abersifat saling melengkapi. Definisi-definisi tersebut,antara lain:
1. Menurut ibnu as-subki:
“pengerahan keemampuan seorang ahli figh untuk menghasilkan hokum syara’ yang bersifat zhanni”[1]
2. Menurut al-amidi:
               “pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hokum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut”[2].
3. Menurut asy-syaukani:
                “pengerahan kemampuan dalam mencapai hokum syara’ yang bersifat amaliyyah dengan menggunakan metode istinbath”[3].
Sby ash shiddiqi mengemukakan bahwa ijtihad adalah:

Artinya:
             “menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hokum syara’ dengan jalan zhan”.

Jadi, definisi diatas dapat di simpulkan bahwa ijtihad adalah bersungguh-sungguh mencurahkan pemikiran dan menghabiskan segala kesanggupan.
B. Dasar hukum ijtihad
Fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash al-quran.
Dasar hokum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman allah swt:
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ  
Artinya:
  “dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu kearah masjidil haram” (qs.al-baqarah:149)
                dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berad ajauh dari masjidilharam, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurah kan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Dalam sebuah hadis nabi juga dijelaskan bahwa muadz bin jabal ketika di utus menjadi gubernur di yaman pernah berijtihad dalam memutuskan suatu perkara. Ketika itu muadz ditanya oleh rasulullah saw:
“dengan apa engkau menjatuhkan hukum?”Muadz menjawab,
           “dengan kitab allah (al-quran) jawab muadz”. Rasulullah bertanya lagi,
“kalau engkau tidak dapat keterangan dari al-qur’an?” Muadz menjawab,”saya menggalinya dari sunah rasul.”Rasulullah pun bertanya,
            “kalau engkau tidak mendapati, keterangan dalam sunah rasulullah
Saw.? “muadz menjawab, “saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa. Rasulullah menepuk pundak muadz bin jabal menandakan persetujuannya.
Nabi muhammad saw. Memberikan izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan nabi memberikan dorongan kepada mereka. Kalau ijtihad itu dilakukan tepat mengenai sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak, diamendapat satu pahala.
Ada suatu peristiwa yang terjadi pada zaman rasulullah saw. Yaitu dua orang sahabat sedang berpergian, ditengah perjalanan mereka hendak melakukan salat zhuhur, tetapi tidak ada air untuk berwudhuk, maka mereka melakukan tayamum.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan. Ditengah perjalanan, mereka mendapatkan air sedangkan waktu zhuhur masih ada, mereka sang siapakah mereka harus shalat lagi atau tidak. Satu orang diantara mereka berwudhu dan melakukan shalat lagi,s edangkan yang lainnya tidak. Ketika kembali kekota, mereka menanyakan hasi lijtihad merek atersebut kepada rasulullah saw. Dan beliau memberikan jawaban sebagai berikut, “bagi orang yang berwudhu kembali dan shalat lagi mendapat tambahan pahala, dan bagi lainnya yang tidak mengambi lwudhu dan tidak mengulang lagi shalatnya dipuji oleh rasulullah bahwa melakukan ijtihad dengan tepat”.
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, maka ulama membagi hokum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut:
1. Wajib ain, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3. Sunah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau tidak.
Dr.muhammad sallammad kurdi dalam kitabnya manahiju al ijtihad fi al-islam menjelaskan bahwa ijtihad dan berijtihad hukumnya adalah wajin bagi yang telah mempunyai keahlian dan memenuhi syarat-syarat ijtihad.  

BAB III
PENUTUP

A.kesimpulan
1. Ijtihad adalah bersungguh-sungguh mencurahkan pemikiran dan
Menghabiskan segala kesanggupan.
2. Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila  dalam suatu masalah tidak
Ada dasa rhukum.
B.saran
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan dan isi dari makalah inio leh karena itu kami berharap saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi kemajuan  kita dimasa depan dar isegi ilmu dan pengalaman, dan kami berharap kita dapat saling berbagi ilmu pada saat diskusi makalah.


DAFTAR PUSTAKA

Drs.khairul uman.drs.h.ahya raminudin,ushul fiqihi,cv.pustaka setia,bandung.
Dr.h.abd.rahman dahlan,m.a, ushul fiqih, jakarta: amzah,2011.





[1]tajuddin Abdul wahhab bin as-subki,jam’ al-jawami;semarang:toha putra,tt,hlm.379.
[2]Al-Amidi,al-ihkamfi ushul al-Ahkam,juzIV,Beirut:Dar al-kitab al-Arabi,1984,hlm.162.
[3]Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-syaukani,irsyad al-FukhulilaTahqiq al-Haqq min ‘llm al-ushul, Beirut:Dar al-Fikr,tt,hlm.250.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates